SuaraBanyuurip.com – Generasi muda Bojonegoro, Jawa Timur, masih tabu terhadap isu perubahan iklim. Mereka belum memahami bagaimana melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi di sekitar mereka. Belum adanya regulasi adaptasi dan mitigas perubahan iklim yang dimiliki pemerintah kabupaten (Pemkab) menjadi penyebabnya.
“Selama ini yang kami dapatkan adalah informasi tentang aksi-aksi seperti pengelolaan sampah dengan 3R, hemat listrik ataupun kegiatan sejenis yang ternyata masuk kategori aksi Mitigasi Perubahan Iklim,” kata Nasya dari Forum Anak Bojonegoro (FABO) saat diskusi dalam workshop Aksi Generasi Iklim di Kedai Mbah Yi, Kamis (27/6/2024) lalu.
Adaptasi terhadap perubahan iklim, menurut Udin dari Relawan Anti Korupsi, merupakan hal yang sulit dijangkau anak muda karena merupakan sebuah upaya mengubah kebiasaan masyarakat.
“Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi yang berlangsung turun temurun. Sehingga diperlukan semangat dan dorongan kuat untuk mengubah kebiasaan itu,” tegasnya.
Minimnya pemahaman Gen Z Bojonegoro terhadap isu perubahan iklim, ungkap Putut Prabowo dari Yayasan Adopsi Hutan Jawa Timur (YAH-JT), dapat dilihat dari tidak adanya peserta diskusi yang memasukkan usulan rencana di kolom Aksi Adaptasi Perubahan Iklim.
“Fakta ini sebagai indikasi minimnya literasi yang diterima oleh anak muda, terutama Gen Z,” tegas Putut.
Menurutnya, anggapan bahwa Gen Z adalah generasi yang melek teknologi informasi, membuat kekeliruan jika Gen Z otomatis melek literasi, termasuk pada isu perubahan iklim. Selain itu, institusi pendidikan di Bojonegoro belum menjadikan perubahan Iklim sebagai pengarusutamaan dalam edukasi serta tata kelola pendidikan.
“Padahal saat saya berdiskusi dengan beberapa praktisi pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi, mereka mengakui jika perubahan iklim juga berdampak pada dunia pendidikan,” tuturnya.
Putut menilai, minimnya pemahaman generasi muda terhadap isu perubahan iklim ini dikarenakan belum adanya “sense of climate crisis” secara kolektif dari para pembuat kebijakan daerah dan operator.
“Ini terjadi disebabkan belum adanya kebijakan yang implementatif mengenai aksi bersama dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Kabupaten Bojonegoro,” tandasnya.
Menurut Putut, kebijakan tersebut harus memenuhi tiga hal agar bisa dilaksanakan. Yaitu adanya produk regulasi, entitas yang menerima mandat untuk menjalankan serta standart operasional prosedur (SOP) dan anggaran.
“Hilang salah satu, bisa dipastikan kebijakan itu tidak akan membumi,” tegas pria asli Malang, Jatim ini.
Putut mengungkapkan, kebijakan di tingkat pusat dan provinsi sudah ada yang bisa dijadikan dasar hukum bagi pemerintah kabupaten untuk membuat aturan guna merespon perubahan iklim. Namun sampai hari ini para pemangku kebijakan tidak memiliki niatan membuat program-program MItigasi dan Adaptasi.
“Apakah perlu membuat ‘Training of Government for Climate Governance’? Semestinya tidak sampai seperti itu”, ujarnya tersenyum.
Putut berharap momentum pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bojonegoro tahun 2024 ini akan menjadi salah satu indikator dalam mengukur komitmen bersama dalam membangun kebijakan yang tanggap dengan perubahan iklim dan dampaknya.
Sebab, lanjut dia, Bojonegoro sekarang ini tidak hanya terdampak krisis iklim tapi juga penyumbang emisi karbon, yang dihasilkan dari kegiatan industri migas.
Selain itu, tambah Putut, tingkat deforestasi di Bojonegoro relative tinggi. Sekitar 40 persen wilayah Bojonegoro merupakan kawasan hutan. Meskipun demikian, berdasarkan laporan Global Forest Wacth, sejak tahun 2001 hingga 2023, Bojonegoro telah kehilangan 4.65 kha (ribu hektar) tutupan pohon atau setara dengan penurunan 12% tutupan pohon sejak tahun 2000. Luas ini setara dengan 2.36 Mt (metrik ton) emisi CO₂.
“Sejak tahun 2001 hingga 2023, Bojonegoro kehilangan tutupan pohon sekitar 4.65 ribu hektar, menempati peringkat tertinggi ke-3 di Jawa Timur, setelah Kabupaten Malang dan Bondowoso,” ungkapnya.
“Jadi sudah saatnya pemerintah daerah membuat aturan tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” pungkas Putut.
Diskusi ini menjadi wawasan baru bagi peserta. Mereka memasukkan usulan kedalam empat bidang aksi tanggap perubahan Iklim yaitu mitigasi, adaptasi, literasi dan advokasi. Dari keempat bidang itu mitigasi mendapat porsi usluan terbanyak dari peserta, disusul LIterasi, Advokasi dan terakhir adalah Adaptasi. Para peserta memiliki harapan yang besar bahwa tindak lanjut dari Workshop ini adalah pembangunan literasi.
“Sebagai Gen Z, kami butuh dukungan untuk aksi-aksi yang membangun ‘climate awareness’, sekaligus pengayaan pengetahuan tentang kegiatan hal ini,” harap Al-Fajr, (17), siswa SMKN 5 Bojonegoro ketika ditanya komentarnya seusai kegiatan workshop.
Annisa Wahyu selaku Ketua FABO menegskan bahwa ruang-ruang pembelajaran dan peningkatan kapasitas dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu diprioritaskan bagi generasi muda. Penanganan terhadap Perubahan Iklim dan dampaknya adalah aksi bersama yang memerlukan daya upaya sangat besar dan waktu yang panjang.
“Untuk itu, penting sekali membekali generasi muda mengenai literasi tentang krisis iklim, dampak serta upaya tanggapnya,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, AW Syaiful Huda dari Bojonegoro Institute (BI) memastikan bahwa lembaganya berkomitmen mendukung dan mendampingi entitas muda Bojonegoro dalam aksi generasi iklim. BI juga akan mengupayakan seri edukasi iklim untuk pelajar dan pemuda di Bojonegoro.
“Sudah seharusnya anak muda diposiskan sebagai kekuatan yang menjadi poros utama dalam aksi tanggap perubahan iklim” ucapnya bersemangat.(red)