Oleh : Rahul Oscarra Duta
PILKADA serentak segera bergulir. Terlebih, pencalonan para tokoh yang berambisi menduduki jabatan tertinggi di daerah itu juga segera dilaksanakan Agustus mendatang. Tak tertinggal, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Kabupaten dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sangat tinggi itu juga diprediksi menjadi daerah dengan pertarungan sengit antara mantan petahana maupun pendatang baru. Jika dilihat dari kasat mata, mantan penguasa yang identik dengan “Tangan Besi” akan berhadapan dengan penantang baru yang dijuluki “Dekengan Pusat”.
Apakah pertarungan tersebut akan mengakhiri ambisi si Tangan Besi? Let see what will be happen. Namun, penulis berharap seperti itu. Hahaha.
Harapan penulis itu, bukan tanpa sebab. Melainkan memang sesuai apa yang dirasakan oleh penulis dan mungkin juga dirasakan mayoritas masyarakat Bojonegoro lainnya. Terlebih, masyarakat kota yang merasakan langsung beberapa kebijakan si “Tangan Besi” itu merugikan. Yaitu, upaya pemindahan Pasar Tradisional Bojonegoro dengan cara represif.
Bagaimana tidak dikatakan represif jika upayanya mengusir dengan cara kasar dan terang-terangan seperti merobohkan plafon pasar dengan alasan tak layak pakai, menutup akses jalan dengan bollard, menempeli stiker resmi dari OPD yang ditugaskannya di setiap dinding pasar dengan tulisan “Awas Bangunan Ini Rawan Roboh” dan sebagainya.
Semua bukti-bukti tersebut tersimpan rapi di memori masyarakat kota, apalagi para pedagang pasar itu. Konon katanya, juga membentak ibu-ibu pedagang lesehan yang tak ingin pindah dari pasarnya. Repot juga kan lawan tangan besi? Oh iya, Persibo pun juga tidak diurusi saat itu oleh pihak Tangan Besi”, xixixixixixi.
Banyak juga kebijakan lainnya seperti Program Insentif Perkawinan yang tak jelas arahnya kemana, memindahkan CFD semula di alun-alun ke daerah yang sepi, dan lain sebagainya.
Apalagi soal kasus yang kental dengan tindakan korupsi. Seperti, kasus Kartu Petani Mandiri, kasus Mobil Siaga Desa yang sedang disidik oleh kejaksaan setempat.
Yah walau begitu, penulis akui pembangunan jalan di desa-desa sangat diperhatikan. Tapi bukan hal yang impresif, karena APBD nya sangat tinggi. Bukankah itu hal yang wajar dan merupakan kewajiban? nothing special.
Selain itu dalam membangun kota tanpa membangun SDM-nya. IPM yang ngestuck, tak ada kampus negeri di kabupaten dengan APBD tinggi sepertinya konyol. Apalagi yang dirasakan para jurnalis. Keterbukaan informasi publik (KIP) di organisasi perangkat daerah (OPD) yang sangat amat minim juga tak ada pembenahan pada jaman si “Tangan Besi”.
Uniknya lagi, setiap ada pertemuan atau rapat juga melarang pegawainya membawa HP. Entah ada apa, penulis juga tak tahu.
Nah satu lagi, tak akurnya dengan pasangannya saat itu juga memperlihatkan betapa lucunya pemerintahan kabupaten di rezim era “tangan besi”.
Melihat ada penantang yang konon katanya punya dekengan pusat dan lebih “ngopeni” daripada yang punya slogan “ngayomi lan ngopeni” itu, rasanya seperti diguyur air segar. Mengapa? karena penulis muak dengan kepemimpinan tangan besi itu.
Namun, bukan berarti penulis ini TIDAK NETRAL. Jikalau penantang baru nanti menyingkirkan si tangan besi lalu menduduki S 1 itu, namun dalam perjalanan kepemimpinannya juga buruk, penulis sebagai warga Bojonegoro yang baik juga akan memantau dan mengkritisi habis-habisan bak menilai pendahulunya itu.
Melihat dukungan masyarakat ke wakil sang penantang baru melalui jalur independen sudah cukup mengguncang elektabilitas si tangan besi. Apalagi, ditambah dengan dekengan pusat. Sekali lagi, apakah ini akhir dari si Tangan Besi?
Penulis merupakan anak band bergenre poppunk.