Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Lazim dan lumrah jika upacara peringatan kemerdekaan yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya diikuti oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun dihelat warga secara mandiri.
Termasuk penyelenggaraan upacara pengibaran bendera merah putih oleh Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia yang Dijiwai Manunggalnya Keimanan dan Kemanusiaan bersama Organisasi Shiddiqiyyah. Namun upacara yang diselenggarakan bukanlah untuk memperingati kemerdekaan ke 79 Republik Indonesia (RI).
“Upacara yang kami laksanakan tadi memang bukan peringatan Kemerdekaan RI, karena RI tidak pernah dijajah,” kata Ketua PCTA Indonesia, Kabupaten Bojonegoro, Dwi Agung, M.Pd., kepada Suarabanyuurip.com, Jumat (17/08/2024).
Meski begitu, tata laksana upacara yang dipusatkan di Jamiatul Mudzakirin Yarju Rohmatulloh Shiddiqiyyah turut Desa Banjaranyar, Kecamatan Baureno, ini sejatinya secara umum sama. Ada pembacaan teks proklamasi dan teks Pancasila, pembacaan preambule UUD 1945, pengibaran bendera merah putih, mengheningkan cipta, dan juga doa.
Tetapi ada 4 hal yang menjadi pembeda dan belum pernah ditemukan di penyelenggaraan manapun. Pertama yaitu doa yang dilaksanakan bergantian secara Islam dan agama lain, karena upacara ini diikuti pula oleh para perwakilan lintas agama selain Islam. Yakni Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Selain itu upacara Kemerdekaan diikuti oleh ratusan murid Toriqoh Shiddiqiyyah, Yayasan Pendidikan Shidiqiyyah Indonesia, Jam’iyah Kautsaran Putri Hajarulloh Shiddiqiyyah (JKPHS).
Maka ketika doa dilantukan, masing-masing pemuka agama yang diundang membaca doa sesuai keyakinannya satu per satu.
Kemudian adanya pengucapan Sumpah Jati Diri Bangsa. Serta menyanyikan lagu Indonesia Raya sebanyak 3 stanza. Karena melihat umumnya pada penyelenggaraan upacara bendera, lagu kebangsaan Indonesia Raya hanya dinyanyikan sekali untuk satu kelompok larik sajak yang pertama saja.
Dwi Agung menjelaskan hal itu satu demi satu. Perihal doa yang dilantunkan oleh masing-masing pemuka agama secara bergantian, sebab adanya kebhinekaan. Sehingga kemajemukan ini dihargai dengan memberikan waktu dan tempat untuk melantukan doa mensyukuri nikmat kemerdekaan secara agama masing-masing.
“Sumpah jati diri bangsa ini bersumber dari kitab suci negara Republik Indonesia yang disebut pembukaan, tidak lain adalah manunggalnya kemanusiaan dan keimanan, jika ini terjadi maka jayalah negara,” ujarnya.
“Sila pertama itu KeTuhanan, sila ke dua kemanusiaan, kalau sila satu dan dua itu manunggal, maka sila ke tiga, empat, dan lima itu nunut (numpang), artinya prakteknya gampang,” lanjutnya.
Sedangkan ihwal pengulangan lagu Indonesia Raya, Dwi menyatakan aslinya memang dinyanyikan secara tiga stanza.
Lalu pada kekhasan lain, yakni pada upacara yang disebut bukan untuk peringatan Kemerdekan RI, melainkan mentasyakuri kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ini karena yang terjajah adalah Bangsa Indonesia, bukan Republik Indonesia.
“Sehingga kami ada dua kali upacara, besok kami upacara lagi pada Minggu 18 Agustus 2024 mensyukuri berdirinya negara Republik Indonesia,” tandasnya.
Sementara itu, Pemuka Agama Katolik, Fransisco Sarman salah satu tokoh lintas agama yang hadir dalam upacara mengaku baru sekali mengikuti ucapara bersama Shiddiqiyyah. Sehingga ia merasa terkesan, karena situasinya terasa berbeda, yaitu berasa hening dan khidmat saat berlangsungnya upacara.
“Hati ini terasa adem, walaupun cuaca panas, saya juga merasa bahwa saudara-saudara di PCTA Indonesia ini dan Shiddiqiyyah, persaudaraannya sangat menekankan kenegaraan, dengan upacara ini saya merasa betul handarbeni (ikut memiliki) dan lebih mencintai Indonesia,” ungkapnya.(fin)