Ajukan Judicial Review, Ketua PCTA Indonesia : 17 Agustus 1945 Bukan Hari Kemerdekaan RI

Ketua PCTA Indonesia yang Dijiwai Manunggalnya Keimanan dan Kemanusiaan, Kabupaten Bojonegoro, Dwi Agung, M.Pd.
Ketua PCTA Indonesia yang Dijiwai Manunggalnya Keimanan dan Kemanusiaan, Kabupaten Bojonegoro, Dwi Agung, M.Pd.(arifin jauhari)

SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari

Bojonegoro — Frasa Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dianggap tidak sesuai dengan fakta sejarah sehingga perlu diluruskan. Mengingat Republik Indonesia (RI) baru berdiri pada 18 Agustus 1945.

Dua hal itu dinilai penting untuk dipahami seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, organisasi bernama Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTA) Indonesia yang dijiwai manunggalnya keimanan dan kemanusiaan sampai mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Berdirinya NKRI itu 18 Agustus 1945, kalau 17 Agustus 1945 itu Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, maka kami tidak pernah menyebut 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekan RI, republik kita tidak pernah dijajah, karena RI baru ada pada 18 Agustus 1945,” kata Ketua PCTA Indonesia, Dwi Agung, M.Pd., kepada Suarabanyuurip.com, Sabtu (17/08/2024).

“Kalau Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, negara berdiri di atas apa? Pancasila saat itu belum diterima, karena Pancasila finalnya pada 18 Agustus 1945,” lanjutnya.

Setiap tanggal 17 Agustus baginya merupakan hari untuk mentasyakuri Kemerdekaan Bangsa Indonesia, bukan Republik Indonesia. Hal itu disebutnya terbukti pada teks proklamasi yang berbunyi “Kami Bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia” yang ditutup dengan pernyataan “Atas Nama Bangsa Indonesia”.

“Jadi bukan atas nama presiden, kalau republik itu presiden,” tegasnya.

Kemudian, ada kalimat “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” merupakan janji Sang Proklamator. Yakni untuk memindahkan kekuasaan dari masa penjajahan.

“Terpenuhinya janji pemindahan kekuasaan itu oleh Soekarno-Hatta ialah pada 18 Agustus 1945, harinya Sabtu Pahing, sedangkan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia harinya Jumat Legi,” beber Dwi.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut baru terjadi pengesahan konstitusi yaitu UUD 1945 melalui sidang oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai dasar negara berbentuk republik serta pengangkatan Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Dalam upaya untuk meluruskan frasa dimaksud, Dwi Agung mengaku telah datang mengajukan pelurusan ke MK. Pihaknya telah datang dua kali dalam sidang yang digelar di Jakarta.

“Menurut protokoler UU Nomor 9 Tahun 2010, disebutkan frasa Kemerdekan Republik Indonesia, nah ini yang kami uji materinya di MK agar diluruskan dengan kalimat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Bangsa Indonesia,” tuturnya.

Dalil yang dia usung adalah, pertama, teks proklamasi tidak mendukung frasa kemerdekaan RI. Selanjutnya pada pembukaan UUD 1945 alinea I,II,III, dan IV tidak ada yang menyebutkan mengenai republik.

Pada alinea ke IV berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

“Nah di alinea ke IV itu kan jelas bahwa kemerdekaan kebangsaan itu diorganisir menjadi sebuah negara republik, ini harus diluruskan,” ungkap pria berdomisili di Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander ini.

Sejatinya, pendiri PCTA Indonesia dari Pesantren Majma’al Bahrain di Jombang, Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi dia katakan telah berusaha meluruskan pemahaman itu sejak tahun 1978 mulai dengan cara seminar ke mana-mana hingga ke gedung MPR/DPR tetapi belum ada tindak lanjutnya.

“Oleh karena itulah kemudian kami tempuh jalur ke MK, sidang pertama sudah pada 22 Juli 2024, sidang ke dua pada 5 Agustus 2024, mudah-mudahan bisa terkabul,” harapnya.(fin)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *