SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro pada 27 November 2024 telah digelar. Hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei pun banyak beredar. Selisih suara yang didapat oleh Cabup-Cawabup Wahono-Nurul atas rivalnya Cabup-Cawabup Teguh-Farida sangat tinggi.
Versi hitung cepat Wahono – Nurul mendapatkan 89,32 persen suara dan Teguh – Farida mendapatkan suara sebanyak 10,68 persen. Ucapan selamat untuk Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 02, Setyo Wahono dan Nurul Azizah ini pun berdatangan dari berbagai kalangan.
“Selisih suara yang sangat tinggi tersebut menarik untuk dicermati apakah nanti ada perselisihan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi ?,” kata Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bojonegoro, Handoko Sosro Hadi Wijoyo kepada Suarabanyuurip.com dalam wawancara tatap muka, Jumat (29/11/2024).
Pria karib disapa Hans Wijaya ini menerangkan, dalam memutus permohonan pemohon dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada), Mahkamah Konstitusi (MK) berpedoman pada dua hal. Pertama, permohonan tersebut diajukan oleh pasangan calon kepala daerah. Kedua, memenuhi syarat formil ambang batas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 Tahun 2016 (UU Pilkada).
Pasal 158 UU Pilkada mengatur pasangan calon kepala daerah dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan penetapan hasil penghitungan suara oleh termohon (KPUD) dengan ketentuan bila memenuhi syarat selisih suara mulai 2 persen hingga 0,5 persen tergantung dari jumlah penduduk di provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan.
Dalam hal Pasal 158 UU Pilkada ini Bojonegoro masuk pada poin 2 huruf d yaitu “kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota”.
“Forcasting dari beberapa quick count memang bukan menjadi penentuan hasil yang sah, tapi bisa digunakan peramalan,” ujar Hans.
Dengan begitu, secara normatif jika permohonan pemohon dalam perselisihan hasil pilkada tidak memenuhi syarat ambang batas sebagai mana yang diatur Pasal 158 UU Pilkada itu, MK berhak menolak permohonan pemohon dalam proses dismissal (proses pendaftaran perkara).
Namun, kata Hans, dengan berkembangnya waktu, MK memberlakukan ketentuan ambang batas sebagai syarat formil permohonan perselisihan hasil pilkada, dengan syarat pemohon bisa meyakinkan kepada Mahkamah bahwa dalam proses penetapan hasil pilkada yang dilakukan oleh termohon yakni Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) ada kesalahan atau kelalaian termasuk ada peristiwa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
“Sementara ini di Bawaslu Bojonegoro belum ada laporan yang mendalilkan hal tersebut,” bebernya.
“Kita ikuti proses rekap secara berjenjang di KPU Kabupaten, Bawaslu akan memastikan suara masyarakat dari hasil pungut hitung di TPS akan sama saat penetapan nanti,” tandas sineas muda ini.(fin)