SuaraBanyuurip.com – Athok Moch Nur Rozaqy
DENGAN tergesa-gesa, Patmiasih berjalan keluar rumahnya ketika melihat warga Dusun Temlokorejo, Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, berbondong-bondong menuju lokasi akses road, Rabu (19/9/2012). Langkah perempuan berusia 60 tahun itu tak begitu cekatan menyusuri jalan makadam dikampungnya. Kaki rentanya sulit mengikuti kelincahan langkah puluhan warga lainnya yang berjalan didepannya.
Tapi, untung saja, siang itu, Patmiasih membawa payung. Payung tersebut bukan untuk memayungi dirinya dari terik matahari. Melainkan ia gunakan sebagai tongkat untuk membantu berjalan. Dengan tertatih-tatih, Patmiasih berjalan mengikuti warga lainnya menuju kerangka tenda di lokasi akses road yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Kerangka tenda yang terbuat dari bambu itu terlihat masih kokoh berdiri. Sama seperti ketika warga mendirikannya pada Senin (17/9) kemarin. Ditempat inilah warga Temlokorejo berkumpul untuk bernegoisasi dengan PT. Tripatra Engineers & Constructor dan Mobil Cepu Limited (MCL), operator migas Blok Cepu, membahas tuntutan kompensasi tunai akibat polusi debu dari proyek engineering, procurement and construction (EPC) 1 Banyuurip.
“Saya mau ikut mempertahankan tenda katanya mau dibongkar paksa,†ujarnya bersemangat sambil terus melangkah berbaur dengan warga lainnya.
Bagi Patmiasih dan warga Dusun Temlokorejo-Kaliglonggong, tenda yang menyisakan kerangka itu memiliki arti penting. Arti sebuah perjuangan menuntut keadalian atas dampak proyek yang merugikan mereka. Apalagi sampai hari hari ini tuntutan kompensasi tunai yang dilayangkan mereka belum juga dipenuhi MCL maupun Tripatra.
Karena itulah, ketika tersiar kabar akan ada pembongkaran kerangka tenda, warga pun berduyun-duyun ke lokasi tersebut. Aksi ini merupakan sebuah bentuk perlawanan atas kekhawatiran akan dibongkar paksanya tenda dilokasi acces road menuju well pad C Banyuurip. Sebab selain masalah kompensasi dugaan pencemaran debu yang masih belum dipenuhi, mereka juga memprotes perlakuan kesan otoriter oknum pegawai proyek.
“Masak mau buwuh (kondangan) lewat jalan ini ditegur,” keluh Patmiasih kepada www.suarabanyuurip.com, Rabu (19/9).
Nenek berkacamata ini menilai, tanah yang didirikan tenda tersebut masih menjadi bagian warga. Apalagi lokasi tersebut merupakan jalan yang menghubungkan Dusun Sumurpandan Desa Setempat.
“Sejak dulu jalan ini dilalui warga,” ujarnya.
Karena itu, kekesalan warga kian menjadi ketika serombongan polisi dari Polsek Gayam yang didukung jajaran Polres Bojonegoro mencoba membongkar kerangka tenda secara paksa. Alasan Polisi, aksi pemblokiran dan pendirian tenda yang dilakukan di lokasi akses road itu tidak ada pemberitahuan.
Namun, warga yang sebagian kaum perempuan itu pun langsung bergerak menghalang-halanginya. Aparat Polisi pun menghentikan aksinya dan mencoba bernegoisasi. Tapi warga tetap bertahan dan ngotot agar tenda tidak dibongkar.
“Kami akan tetap bertahan sampai tuntutan kami dikabulkan. Kalau dikatakan tidak ada pemberitahuan itu salah. Semua pemberitahuan sudah kami berikan kepada Pak Kepala Desa,” teriak Sulasih, disamping sejumlah warga lainnya.
Sama dengan aksi Senin kemarin, anak-anak dibawah umur juga masih dengan bebasnya ikut melakukan aksi tersebut.Bahkan, beberapa dari mereka ikut memasang ranting dari bambu yang telah kering dan berduri. Warga mulai membubarkan diri menjelang magrib setelah petugas gabungan dari Pam Obvit, perwakilan MCL dan Jajaran Polsek Gayam meninggalkan lokasi. Kedua belah pihak menunggu keterlibatan pemerintah desa (pemdes) setempat.