Suarabanyuurip.com – Teguh Budi Utomo
Bondowoso – Pemkab Bondowoso, Jawa Timur di bawah kepemimpinan Bupati Drs KH Salwa Arifin, tampaknya sangat memahami pentingnya penerapan Konvensi Hak Anak (KHA) untuk wilayah kerjanya. Mandat dari instrument Internasional yang berisi lima klaster terkait hak-hak anak itu, bakal diterapkan untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak di daerah Tapal Kuda tersebut.
Lima klaster dari KHA yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 tersebut meliputi: Hak Sipil dan Kebebasan; Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif; Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan; Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Rekreasi; dan Perlindungan Khusus.
Untuk kepentingan tersebut, Dinas Pendidikan Bondowoso menggelar Workshop Konvensi Hak Anak yang diikuti 2.000 guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dari 209 desa dan tujuh kelurahan yang tersebar di 23 wilayah kecamatan di daerah Tapal Kuda tersebut. Mereka mengikuti kegiatan yang dihelat selama delapan hari pada tanggal 6, 7, 8, 13, 14, 15, 19 dan tanggal 20 Juni 2023.
Perhelatan ranah pendidikan anak yang bermuara pada traktat Internasional, yang melahirkan Perpres 36 tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990, dan kemudian amandemen kedua UUD 1945 dengan memasukkan Pasal 28B Ayat (2), “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” itu, menghadirkan narasumber, Nunuk Fauziah, dari LBH KP Ronggolawe.
Perempuan fasilitator yang selama ini konsentrasi pada perlindungan anak, berpengalaman menfasilitasi forum tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional ini, didampingi narasumber lain diantaranya, Enyke dari Poli Psikolog RSU dr Koesnadi, Bondowoso, dan Eko Prasetyawan dari Bidang PAUD Dinas Pendidikan setempat.
Secara regulatif, menurut Nunuk Fauziah, untuk melaksanakan KHA , Indonesia menerbitkan U 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian diubah dengan U 35 Tahun 2014. Regulasi nasional itu melahirkan peraturan perundang-undangan lainnya.
“Setelah keluar Keputusan Presiden nomor: 36 tahun 1990, KHA mulai berlaku di Indonesia tanggal 5 Oktober 1990,” kata perempuan aktifis penyuka warna hitam dan putih itu.
Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktat atau pakta) yang berlaku di dunia, dan negara-negara yang ikut meratifikasinya. Ini sesuai Pasal 49 ayat 2, “Bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keikutsertaan pada konvensi (Hak Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan yang keduapuluh, konvensi ini berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan.”
Eko Prasetyawan bersama tim dari Bidang PAUD Dinas Pendidikan Bondowoso, saat eninjauan lapangan di sejumlah lembaga PAUD di wilayah setempat. Guru PAUD di daerah ini disiapkan dalam workshop menjadi motor penggerak pelaksanaan KHA di daerah Tapal Kuda tersebut. (suarabanyuurip.com/ist)
© 2023 suarabanyuurip.com/Teguh Budi Utomo
“Perjanjian diantara beberapa negara ini mengikat secara yuridis dan politis, karena konvensi merupakan hukum internasional, atau disebut instrument internasional yang mengatur hak anak,” tegas Nunuk Fauziah.
Klaster Konvensi Hak Anak
Sedangkan penjabaran lima klaster KHA, yang pertama soal Hak Sipil dan Kebebasan terkait dengan nama dan kebangsaan, mempertahankan identitas, kebebasan berpendapat, kemerdekaan berpikir-hati nurani dan beragama, kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai. Selain itu tentang perlindungan privasi, akses terhadap informasi yang layak, dan hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam/tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Kedua terkait Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif. Item ini meliputi bimbingan orang tua, janggung jawab orang tua, terpisah dari orang tua, reunifikasi keluarga, dan pemindahan secara ilegal dan tidak kembalinya anak. Termasuk ula tentang pemulihan pernafkahan bagi anak, anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga, pengangkatan anak, tinjauan penempatan secara berkala, kekerasan dan penelantaran termasuk pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi sosial.
Ketiga bersangkutan dengan masalah Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Meliputi masalah anak penyandang disabilitas, kesehatan dan layanan kesehatan, jaminan sosial, dan layanan, dan fasilitas perawatan anak dan standar hidup.
Keempat terkait Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Rekreasi. Konsentrasinya pada masalah pendidikan, termasuk pelatihan dan panduan kejuruan, tujuan pendidikan, kegiatan liburan, rekreasi, dan kegiatan seni budaya.
Kelima soal Perlindungan Khusus. Pada konteks KHA meliputi instrument anak dalam situasi darurat, anak berkonflik dengan hukum, anak dalam situasi eksploitasi, termasuk pemulihan fisik dan psikologis, dan reintegrasi sosial. Diamanatkan pula, masalah anak-anak yang termasuk dalam suatu kelompok minoritas atau pribumi.
“Berarti KHA ini sudah ada sejak sebelum tahun 2000-an ya, namun di tahun 2023 kita baru mengetahuinya,” ujar Khofifah guru PAUD Pertiwi 2, Desa Wonosari, Kecamatan Grujugan saat sesi diskusi, di salah satu ruang di kompleks Dinas Pendidikan yang menjadi tempat kegiatan tersebut.
Ia tambahkan, setelah mendengarkan proses diskusi tadi misalnya tentang poin penting KHA adalah non diskriminasi, dan bermain serta belajar ramah anak. “Sebenarnya sudah kami lakukan sehari-hari Mbak Nunuk, hanya saja kita baru mengetahui kalau hal itu termaksuk implementasi KHA,” tambahnya.
Rekam jejak KHA, papar Eko Prasetyawan, menjadi pemicu Dinas Pendidikan Bondowoso merealisasikan mandat instrumen internasional yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia tersebut. Satu diantara program yang dilakukan melalui workshop yang diikuti guru PAUD.
Negara memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan KHA, maka Kabupaten Bondowoso merasa sangat perlu terlibat memberikan pemahaman poin-poin penting KHA kepada guru PAUD. Melalui cara ini anak-anak didik dapat terlindungi dari kekerasan, eksploitasi, dan terpenuhinya tempat bermain dan belajar yang ramah anak.
“Untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak, semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga PAUD harus menjadi pertimbangan utama,” papar Eko Prasetyawan.
Nunuk Fauziah juga menegaskan, dalam memberikan perlindungan, dan memastikan hak-hak anak terpenuhi maka seluruh pemerintah kabupaten/kota berkewajiban memberikan pemahaman tentang KHA kepada seluruh elemen masyarakat. Sekaligus mendorong terimplementasinya lima kluster KHA, untuk mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Realitanya beberapa kabupaten/kota, termasuk Kabupaten Bondowoso, implementasi KHA yang jadi bagian instrument internasional itu sering kali terabaikan karena dianggap kurang penting. Kebanyakan mereka serius dan berlomba-lomba mengimplemntasikan KLA dengan konsentrasi pada mencapaian poin-poin nilai penilaian KLA. Situasi ini yang menyebabkan belum terlaksananya implementasi KHA.
“Sedangkan untuk menjadikan KLA harus terselenggara pelatihan, sosialisasi atau workhsop KHA kepada seluruh elemen masyarakat, seperti polisi, guru, organisasi masyarakat, LSM, hingga profesi pengacara,” papar Nunuk Fauziah.
Pemkab Bondowoso melalui Dinas Pendidikan sangat menyadari keterlambatan daerahnya dalam melaksanakan KHA secara utuh dan maksimal. Mereka kini menjemput ketertinggalan atas kesadaran bersama, dan demi kepentingan terbaik bagi anak dan para pendidiknya. Workshop yang diikuti guru PAUD tersebut menjadi bagian penting untuk melakukan program-program KHA ke depan.
Kenapa guru PAUD, urai Nunuk Fauziah, karena mereka merupakan kunci dan aktor utama dalam proses mendidik anak usia dini. Guru pendidikan pra sekolah ini memiliki posisi strategis yang mampu berperan, dalam memberikan akses keadilan, dan memastikan layanan bermain dan belajar yang ramah anak sesuai cita-cita KHA.
Upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak secara jelas telah diatur dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini dinilai ampuh untuk mengatasi semua permasalahan terkait anak, termasuk mengimplementasikan prinsip-prinsip yang tertuang dalam KHA. Namun demikian pelaksanaan dan penegakkan hukum dari regulasi nasional tersebut, masih menjadi kendala di berbagai sektor.
“Hal ini disebabkan terbatasnya pengetahuan, dan pemahaman masyarakat tentang Konvensi Hak Anak (KHA), dan undang-undang itu sendiri,” tegas Nunuk Fauziah.
Bagi Dinas Pendidikan Bondowoso, tujuan workshop untuk meningkatkan kapasitas internal guru PAUD dalam melakukan pendidikan yang ramah terhadap anak. Sekaligus melindungi anak-anak dari segala macam ancaman perlakukan diskriminasi, tindak kekerasan, dan terpenuhinya hak hidup-tumbuh kembang-perlindungan, dan partisipasi.
Sementara visinya, terwujudnya guru PAUD yang berkompeten, berintegritas dalam melindungi, dan memastikan jaminan terselenggaranya KHA anak-anak di Bondowoso. Targetnya mereka memahami relasi dengan anak merupakan kewajiban, bukan pekerjaan untuk menciptakan suasa ruang bermain, dan belajar yang berlandaskan cita-cita KHA.
Sedangkan dari sisi keberdayaan, bertahan dalam mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan anak-anak Bondowoso yang sehat, cerdas, displin, beriman, dan berakhlak.
Untuk mendorong implementasi KHA di daerah berpenduduk 776.151 jiwa tersebut, Dinas Pendidikan akan menyebarluaskan pengetahuan KHA. Selain juga melakukan intervensi praktik kerja nyata bagi seluruh elemen masyarakaat, sehingga kluster KHA benar-benar bisa terpenuhi, dan mampu memberikan kontribusi nyata dalam menghantarkan Bondowoso sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA). (tbu)