Tangani Kekerasan Seksual Polisi Jangan Takut Dipraperadilan

LBH KP Ronggolawe Tuban menggelar Penyuluhan Hukum dengan tema Membangun Kesadaran Hukum Bagi Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual Dalam Rangka Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, di gedung DPRD Tuban. (suarabanyuurip.com/tbu)

Suarabanyuurip.com – Teguh Budi Utomo

Tuban – Lambannya penanganan kasus Kekerasan Seksual (KS) terhadap perempuan dan anak di tingkat kepolisian, mengesankan korban dan keluarganya tak segera mendapat kepastian hukum. Di lain sisi penyidik kepolisian di lapangan dihadapkan pada tertutupnya korban dan saksi karena berbagai sebab.

Sedangkan faktor yang menjadikan mereka tertutup, diantaranya, karena ancaman dari pelaku, menutupi rasa malu, dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal dalam kasus tertentu muncul dampak psikis dari korban KS untuk melakukan bunuh diri.

Kabupaten Tuban sendiri termasuk nomor wahid dari 38 kabupaten/kota penyumbang angka KS di Jawa Timur (Jatim). Data dari Polres Tuban menyebut, sepanjang Januari hingga Oktober 2022 si Seragam Coklat menangani 45 kasus. Jumlah ini naik dibanding tahun 2021 sebanyak 43 kasus, dan 28 kasus pada tahun 2020.

Sesuai data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) sepanjang Januari hingga 15 Agustus 2022  terdapat 703 kasus. Mayoritas terjadi di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama, dan asrama.

Diundangkannya UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), menurut Advokad dari LBH KP Ronggolawe Tuban Khoirun Nasihin SH MH, sebenarnya justru memberi kemudahan kepada jajaran penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus KS.

Termasuk pula menjadi jaminan hukum hingga perlindungan terhadap korban dan keluarganya, saksi, pendamping korban, dan masyarakat terhadap kasus yang acap kali menimpa perempuan dan anak itu.

“Sesuai mandat dari Pasal 25 UU TPKS, keterangan saksi atau korban dengan disertai satu alat bukti cukup membuktikan terdakwa bersalah,” tegas Khoirun Nasihin dalam acara Penyuluhan Hukum dengan tema Membangun Kesadaran Hukum Bagi Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual Dalam Rangka Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP)” di Ruang Rapat Paripurna DPRD Tuban, Kamis (1/12/2022).

Kegiatan Penyuluhan Hukum dari LBH KP Ronggolawe memunculkan wacana perlu sinergitas yang kuat antara lembaga penegak hukum, LBH, dan lembaga layanan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dan anak. (suarabanyuurip.com/tbu)
© 2022 suarabanyuurip.com/Teguh Budi Utomo

Kegiatan berbasis hukum yang dihelat LBH KP Ronggolawe itu diikuti 115 undangan dari unsur pergerakan mahasiswa, NGO, organisasi perempuan, perguruan tinggi, organisasi lintas agama, disabilitas, lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, dan media massa.

Narasumber yang dihadirkan adalah Edy Siswanto SH dari Polres Tuban, Psikolog RSUD dr R Koesma Tuban Lila Aristiani S.Psi, dan Khoirun Nasihin dari LBH KP Ronggolawe.

Oleh sebab itu, tambah Nasihin, demikian lawyer muda ini akrab disapa, UU TPKS bisa menjadi acuan cepat tanggap dari kepolisian untuk segera menangani kasus KS. Tidak ada alasan lagi bagi aparat penegak hukum untuk tidak segera menindak pelaku.

Fakta lapangan dari hasil investigasi LBH KP Ronggolawe, kasus KS yang penanganannya lama, atau tidak jelas kelanjutannya dikarenakan saksi dan alat bukti dibebankan kepada korban. Padahal jika merujuk pada tugas dan fungsi dalam penanganan korban KS, saksi dan bukti adalah tanggung jawab dari kepolisian.

“Kami harap kepolisian tak perlu takut dipraperadilan oleh keluarga korban atau pelaku, karena sudah ada payung hukum yang tegas dan memudahkan bertindak,” tegas Nasihin.

Sebenarnya jajaran Reskrim Polres Tuban melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UUPA), timpal Kanit Tipiter Iptu Edy Siswanto SH, telah serius menerapkan UU TPKS maupun UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlu kecermatan dalam melakukan penyidikan kasus KS.

“Kami sangat terbuka, korban KS juga tak harus datang melapor ke Polres karena mekanisme kerja yang kami lakukan bisa menyesuaikan kondisi lapangan,” kata Edy Siswanto saat memaparkan makalahnya dalam kegiatan yang dibuka oleh Ketua DPRD Tuban H Miyadi tersebut.

Jika disebut terjadi keterlambatan penanganan kasus KS, ungkap seorang penyidik dari Reskrim Polres Tuban secara terpisah, akibat korban dan keluarganya bersikap tertutup karena berbagai faktor. Diantaranya, karena untuk menutupi rasa malu, kesulitan saksi, dan ancaman dari pelaku.

Ditemukan pula kasus KS menimpa korban dari kaum disabilitas. Kondisi ini butuh penanganan ekstra, apalagi jika kejadiannya hanya diketahui pelaku dan korban. Korbannya juga tak mempercayai siapapun, mungkin akibat trauma, dan ketakutan pasca tragedi tersebut menimpanya.

“Kami juga tak menginginkan ketika perkara dilimpahkan ke kejaksaan dikembalikan, oleh sebab itu butuh waktu dan kecermatan dalam menangani perkara KS,” paparnya.

Di setiap kasus KS dengan korban perempuan dan anak, urai Psikolog Lila Aristiani, memiliki rangkaian dampak yang panjang sehingga penanganannya juga tak bisa sembrono. Secara psikologis korban stres pasca trauma, dilanda kecemasan seperti mudah gelisah, panik dan insomnia, dan menderita gangguan jiwa seperti depresi dan skizofrenia.

“Pada kondisi tertekan hebat seperti itu, korban kasus KS memiliki dorongan untuk bunuh diri,” kata Lila Aristiani saat mempresentasikan materinya.

Terjadi pula perubahan kepribadian dari korban. Diantaranya, sulit mempercayai orang lain, cebderung mengisolasi diri, dan enggan atau takut menjalin relasi. Dalam kondisi demikian butuh pendampingan, konseling hingga penanangan khusus dengan waktu tak bisa singkat.

Pengesahan dan penerapan UU TPKS dan UU Perlidungan Anak, bagi Direktur LBH KP Ronggolawe Nunuk Fauziah, menjadi bagian penting dalam menciptakan rasa aman bagi substansi aturan yang memberikan hak perlidungan terhadap korban KS.

“Publik juga harus mengetahui alur penanganan kasus yang dilakukan kepolisian, karena jika terjadi kendala akan berdampak psikologis dan kerugian bagi korban,” papar Nunuk Fauziah usai kegiatan tersebut.

Tersebab itu perlu adanya keterpaduan dalam menangani KS, baik itu dari kepolisian, LBH,  dan lembaga layanan dalam memberikan perlidungan dan layanan terbaik bagi korban. Selama 17 tahun LBH KP Ronggolawe menangani 1.681 kasus kekerasan.

Dari jumlah itu sebanyak 434 kasus KS dengan korban perempuan dan anak diberikan advokasi dan layanan. Rangkaian kasus lainnya berupa KDRT, perkosaan, kekerasan dalam pacaran, kekerasan fisik, psikis, pencabulan, trafficking, persetubuhan, penelantaran ekonomi dan pelecehan seksual.

Langkah kongrit dari LBH KP Rongolawe, sejak tahun 2015 bekerjasama dengan Kemenkum HAM, dan terakreditasi dengan nomor: M.HH-02.HN.03.03 2021. Ia dipercaya memberikan bantuan hukum Litigasi dan Non Litigasi yang rutin dilakukan setiap tahun.

Terdapat tiga agenda dari KP Ronggolawe terkait 16 hari kekerasan terhadap perempuan. Yang pertama berupa pemberdayaan masyarakat berbasis hukum korban konflik sosial, sesuai amanat UU 17 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, saat ini kasusnya di wilayah Kabupaten Lamongan.

Kedua berupa pemberdayaan masyarakat berbasis hukum terkait UU 23 tahun 2004 tentang KDRT, kasusnya ada di Desa Kembangbilo, Kecamatan Tuban, dan yang ketiga berupa penyuluhan hukum terhadap UU TPKS. (tbu)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *