SuaraBanyuurip.com – Workshop Aksi Generasi Iklim yang diselenggarakan oleh Bojonegoro Institute (BI) bersama Forum Anak Bojonegoro (FABO) dan Yayasan Adopsi Hutan Jawa Timur (YAH-JT), pada Kamis (27/6/2024), di Kedai Mbah Yi Bojonegoro sepertinya akan menjadi momen biasa saja seperti kebanyakan forum diskusi anak muda lainnya. Kesan ini sempat dilontarkan oleh salah satu peserta yang mendapatkan undangan sebelum diskusi digelar.
Namun anggapan itu berubah saat masuk ke lokasi acara. Begitu masuk pelataran parkir, suasana asri dan teduh sudah dirasakan oleh peserta. Kawasan Kedai Mbah Yi ini cukup rindang. Sekelilingnya tumbuh berbagai pohon dan aneka tanaman.
Bangunan kedai Mbah Yi dengan konsep tradisional ala Jawa menjadi menjadi salah satu destinasi favorit para “pengopi” di kota Banjir “Banyu Mili” – sebutan lain Bojonegoro. Panitia workshop sengaja memilih tempat ini sebagai lokasi berkegiatan karena mempunyai impresi “green space”.
Workshop ini adalah diskusi bertema Perubahan Iklim dari perspektif anak muda. Di sela diskusi, ada performa dari grup musik TTG (Tutak Tutuk Gathuk) yang membawakan lagu-lagu bergenre ballad. Empat lagu disajikan oleh grup asal Jetak (Bojonegoro) ini yang beranggotakan Oki (vokal 1), Anggi (vokal 2) serta Radinal dan Bob (Gitar).
Grup musik Tutak Tutuk Gathuk membawakan lagu berjudul ‘Hujan’, ‘Sungai’, ‘Aroma Nasi’ dan ditutup oleh ‘Laut Tanpa Pantai’. Lagu-lagu yang dibawakan sarat makna dan memiliki pesan tentang pentingnya merawat lingkungan hidup untuk generasi masa depan.
“Jemari Menari” Gita dan Ugik
Selama diskusi berjalan, fasilitator melontarkan beberapa pertanyaan untuk menarik pendapat para peserta. Suasana diskusi cukup ramai karena disaat peserta yang diberi kesempatan oleh fasilitator untuk mengungkapkan pendapat, sebagian peserta lainnya melakukan diskusi kecil dengan teman terdekatnya.
Forum seketika senyap saat fasilitator memberi kesempatan Gita (Gerkatin) memberi pendapatnya. Gadis yang baru saja menamatkan jenjang SMA dan bercita-cita melanjutkan kuliah ini menggunakan bahasa isyarat melalui simbol jari dan gestur badannya. Didampingi oleh Takim (Actore Mediart) sebagai juru bahasa isyarat (JBI), Gita pun mengutarakan pemahamannya tentang perubahan iklim.
“Suhu bumi semakin panas, terik matahari buat bahaya kekeringan. Mudah (rentan) sakit dan lingkungan rusak,” ungkap Gita seperti yang diterjemahkan JBI.
Dalam sesi pertanyaan berikutnya giliran Ugik (Gerkatin) menunjukkan keterampilan “jemari menari”. Dengan serius, dia maju di depan forum untuk mempresentasikan usulan dan rencana untuk aksi tanggap perubahan iklim. Dalam pemaparan singkatnya, Ugik menekankan aspek kebersamaan semua pihak dalam aksi serta tidak lupa berdoa kepada Tuhan.
Tantangan Pengarusutamaan GEDSI
AW Syaiful Huda (BI) menjelaskan bahwa pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability and Social Inclusion / Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial) seyogyanyan dimulai dari lingkungan terdekat.
“Maka kami di lembaga terus menguatkan sensitifitas serta respon terhadap GEDSI. Salah satunya adalah melibatkan komunitas Difabel dalam kegiatan publik yang kami fasilitasi,” ujarnya.
Namun tantangan memfasilitasi kelompok difabel dalam forum dirasakan oleh Putut Prabowo dari Yayasan Adopsi Hutan Jawa Timur (YAH-JT). Menurut Putut, kendala yang dihadapi diantaranya adalah alur komunikasi tersendat, distorsi dalam memahami isi pembahasan dari sisi JBI, hingga tertinggalnya kelompok difabel saat forum lebih dominan dalam pembahasan secara lisan.
“Kedepan kita perlu memikirkan langkah taktis seperti memanfaatkan aplikasi translasi lisan-tulisan, hingga strategi seperti memperbanyak kursus dan pelatihan bahasa isyarat bagi para pegiat komunitas untuk dapat mengoptimalkan peran dari kelompok difabel,” saran Putut diakhir forum Workshop.
Asa Gita dan Ugik Terus Menyala
Potret Gita dan Ugik adalah representasi kelompok difabel yang mengalami kerentanan bertumpuk saat menghadapi perubahan iklim dan dampaknya. Namun pada kasus GIta dan Ugik, semangat keduanya dalam mengikuti serangkaian aksi cukup tinggi.
“Saya sangat senang dan bersyukur bisa ikut workshop ini. Selama ini saya kurang mendapat penjelasan (info/pengetahuan). Di sekolah juga tidak banyak yang membahas ini. Saya justru baru dapat di sini,” tutur Gita mejelaskan melalui JBI.
Mereka berdua berharap kegiatan ini bisa berlanjut dengan aksi-aksi berikutnya seperti yang sudah diusulkan dalam empat bidang aksi, yatiu mitigasi, adaptasi, literasi dan advokasi terhadap Perubahan Iklim. (Yayasan Adopsi Hutan Jawa Timur atau YAH-JT)