SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Dewan Pers mengecam praktik kekerasan yang ditengarai dilakukan oleh oknum Aparat terhadap wartawan saat peliputan aksi unjuk rasa (Unras) Penolakan Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Peristiwa kekerasan terhadap Wartawan itu terjadi saat aksi demonstrasi elemen masyarakat dan mahasiswa menolak revisi UU Pilkada di DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
Tak hanya itu, Pers Mahasiswa juga menjadi korban kekerasan Aparat yang seharusnya melindungi dan menertibkan saat meliput aksi massa dengan tema yang sama di Semarang, Jawa Tengah.
Tercatat 3 orang anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Semarang mengalami sesak nafas hingga pingsan akibat tembakan gas air mata yang dilancarkan oleh polisi untuk membubarkan aksi.
Hal itu tertuang dalam Siaran Pers No. 8/SP/DP/VIII/2024, ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S di Jakarta tertanggal 24 Agustus 2024 dan diterima Suarabanyuurip.com, Sabtu (24/08/2024).
Berdasarkan laporan yang diperoleh Komisi Keselamatan Jurnalis (KKJ), setidaknya terdapat 11 orang wartawan di Jakarta telah menjadi korban kekerasan aparat, melalui bentuk tindakan intimidasi, ancaman pembunuhan, kekerasan psikis hingga fisik yang mengakibatkan luka-luka berat.
Kali ini, diduga kuat oknum aparat Kepolisian dan TNI melakukan penyerangan terhadap jurnalis. Laporan Tempo.co, personel TNI dan Polri diduga memukul dan mengancam membunuh jurnalis Tempo berinisial H yang tengah meliput demonstrasi di Kompleks Parlemen DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Kekerasan berawal saat Jurnalis tengah merekam aparat TNI dan Polri yang diduga menganiaya seorang pendemo yang terkulai di dekat pagar sisi kanan gerbang utama Gedung DPR RI yang dijebol massa sekitar pukul 17.00 WIB.
Terhadap peristiwa kekerasan wartawan tersebut, Dewan Pers menyampaikan:
1. Aparat sebagai penjaga keamanan demo agar menghormati profesi wartawan saat menjalan profesi melakukan liputan. Dalam menjalankan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
2. Aparat Kepolisian dalam hal ini Propam, tanpa menunggu laporan agar dengan sigap melakukan penyelidikan internal kepada para pelaku kekerasan yang diindikasikan oleh aparat keamanan. Dan sebagai bentuk pengungkapan kebenaran kepada publik, hasil penyelidikan internal tersebut agar segera dipublikasikan.
3. Mempertimbangkan kerja liputan para wartawan yang potensial mengalami
keberulangan dalam liputan kegiatan unjuk rasa, diharapkan Aparat
mengevaluasi rencana tindak lanjut dan pelaksanaan penanganan unjuk rasa
dengan tidak melakukan kekerasan termasuk kepada para wartawan yang
sedang menjalankan tugasnya melakukan liputan.
4. Meminta LPSK agar secara pro aktif melakukan upaya perlindungan kepada
jurnalis yang mengalami kekerasan saat menjalankan profesinya.
5. Meminta Komnas HAM agar melakukan penyelidikan secara independen dan melaporkan hasilnya kepada publik.(fin)