Oleh Muhammad Roqib, S.H.,M.H.
Para pendiri bangsa dan negara Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Soepomo, memilih bentuk negara Indonesia adalah kesatuan (eenheidstaats-vormen), dengan bentuk pemerintahan republik (republic regering-vorm), dan sistem pemerintahan presidential (presidential system).
Sejak awal, Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin, mencita-citakan bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, namun memberikan desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah. Dalam suatu kesempatan Muhammad Hatta atau Bung Hatta pernah mengungkapkan, “Memberikan otonomi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya auto aktiviteit. Auto aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yakni pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat, rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.”
Konsep negara kesatuan dengan desentralisasi dan otonomi luas itu dituangkan dalam Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin adanya desentralisasi dan otonomi yang luas bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Tetapi sayang, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak kunjung dilaksanakan pada masa pemerintahan Soekarno di masa Orde Lama. Sebab, sebagai negara baru, pemerintah pusat dituntut mengutamakan konsolidasi kekuasaan secara terpusat, sehingga keperluan untuk menjamin keragaman antardaerah menjadi nomor dua bahkan nomor tiga. Di sisi lain, pemerintah menghadapi banyak situasi darurat seperti adanya serangan agresi militer Belanda dan pemberontakan-pemberontakan dari dalam negeri. Kondisi itu membuat pemerintahan Soekarno tidak bisa mengembangkan desentralisasi dan otonomi yang memadai bagi daerah-daerah.
Saat itu sebenarnya muncul Tap MPRS tanggal 5 Juli 1966, No. XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Tetapi, Tap MPRS ini juga tidak bisa dilaksanakan karena terjadinya pergeseran kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Pada masa Orde Baru, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah berubah signifikan. Muncul Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui kedua UU ini, semua bangunan kelembagaan pemerintahan daerah dan pemerintahan desa di seluruh Indonesia diseragamkan secara nasional. Terjadi situasi yang disebut sentralisasi. Apa-apa diputuskan oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak memiliki keleluasaan untuk mengembangkan daerah dan menyerap aspirasi masyarakat daerah. Begitu pula, kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Penguasa Orde Baru dengan gaya sentralistis, otoriter, dan militeristik itu memicu gelombang protes dan terjadi gerakan Reformasi tahun 1998. Karena tidak puas dengan pemerintah pusat, beberapa daerah bahkan terang-terangan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Timor-Timur, Aceh, dan lainnya. Penguasa Orde Baru, Soeharto, lengser dan digantikan oleh BJ Habibie.
Memasuki Reformasi, paradigma hubungan pemerintah pusat dengan daerah berubah. Muncul UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tetapi, UU Nomor 22 Tahun 1999 dianggap condong kepada federalisme, kebablasan. Pemerintah daerah kabupaten/kota tidak mempunyai hubungan hierarkhis dengan pemerintah provinsi.
Kemudian, hal itu dikoreksi dengan Perubahan UUD 1945 pada tahun 2000 melalui perbaikan UUD 1945 pada rumusan Pasal 18 ayat (1) ditegaskan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”
Ketentuan baru Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD NRI 1945, telah mengubah format bentuk negara Indonesia dari bentuk Negara Kesatuan yang kaku kepada bentuk Negara Kesatuan yang dinamis.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah kabupaten dan daerah kota menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 ini sepenuhnya berkedudukan sebagai daerah otonom, yakni kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. UU No. 32 Tahun 2004 kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini berlaku sampai sekarang.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.
Esensi desentralisasi adalah memecahkan masalah setempat, dengan cara setempat, dan oleh orang-orang setempat. Melalui desentralisasi, lebih banyak rakyat baik secara langsung maupun melalui wakilnya di parlemen yang terlibat dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan publik untuk kepentingan masyarakat. Desentralisasi akan mendukung demokratisasi.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah juga diatur mengenai pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembagian urusan itu terdiri dari urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan yang menjadi wewenang sepenuhnya pemerintah pusat yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, berdasarkan kriteria akuntabilitas, efisiensi, serta kepentingan strategis nasional.
Bila dicermati, dalam negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial seperti di Indonesia, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengalami pasang surut dan perubahan di setiap periodenya. Pemerintah pusat mengawasi jalannya desentralisasi dan otonomi luas yang dijalankan oleh pemerintah daerah, di sisi lain pemerintah daerah juga mengontrol jalannya kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Sehingga, sebenarnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah itu saling mengontrol dan mengawasi. Dan yang terpenting dalam negara kesatuan dengan desentralisasi dan otonomi luas sebagaimana disampaikan oleh Bung Hatta, rakyat di daerah berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan daerahnya. Otonomi bukan hanya mendorong rakyat di daerah menentukan nasibnya sendiri, akan tetapi juga mengubah nasibnya sendiri.
Penulis adalah Analis Politik dan Pemerintahan Daerah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik