Oleh: Muhammad Irfan Hakim, S.Sos.
INDONESIA sudah lama dikenal sebagai negara agraris, bahkan sebelum berbentuk republik, yakni ketika dahulu disebut Nusantara. Kita dapat mengingat sejarah, bagaimana di era itu produksi rempah-rempah kita yang sangat melimpah. Bahkan, melimpahnya rempah-rempah yang kala itu menjadi komoditas idaman Bangsa Barat. Hal ini mengakibatkan Bangsa Barat pergi ke Nusantara untuk mencari komoditas rempah-rempah, memonopoli, bahkan mengkolonialisasi menjadi tanah jajahan.
Meskipun memiliki julukan sebagai negara agraris hingga sekarang, tapi faktanya adalah Indonesia menjadi salah satu negara importir pangan terbesar di dunia. Pada tahun 2023, Indonesia menjadi importir beras terbesar ke-5 dunia, yakni mencapai 3,06 juta ton. Bagaimana mungkin, negara yang dikatakan agraris, tetapi menjadi negara importir pangan terbesar. Tentu ada suatu hal yang salah di dalamnya. Inilah menjadi permasalahan kita bersama yang seharusnya menjadi perhatian lebih.
Tantangan Sektor Pertanian untuk Kedaulatan Pangan
Terlebih mengingat bahwa bidang pertanian yang mempengaruhi kedaulatan pangan menjadi salah satu pilar penting bagi bangsa. Bangsa besar bukan dinilai dari kekuatan militer yang besar ataupun perekonomian yang kuat, tetapi juga kedaulatan pangan pada bangsa tersebut. Bagaimanapun juga, pangan merupakan kebutuhan primer dan mendasar bagi kehidupan. Untuk itu, pangan sangat penting bagi kedaulatan dan kekuatan suatu bangsa.
Dalam satu dekader terakhir, isu tentang ketahanan atau kedaulatan pangan telah menjadi isu global, aktual dan urgen untuk segera direspon. Berdasarkan laporan World Food Programme tentang Krisis Pangan Global 2024, menunjukkan bahwa di tahun 2023 hampir 282 juta orang di 59 negara membutuhkan respon segera untuk mengatasi kesenjangan konsumsi pangan, dan sekitar 36 juta orang dalam kondisi darurat pangan.
Menilik kondisi di atas, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional, bahkan diharapkan ikut andil dalam memenuhi kebutuhan pangan global. Lumbung pangan menjadi model perangkat kedaulatan pangan masyarakat yang dirasa efektif, karena dapat menjaga ketersediaan dan stabilitas harga pangan.
Kementerian pertanian mengungkapkan bahwa, Jawa Timur merupakan salah satu parameter indikator terbesar menyediakan bahan pangan. Kabupaten Bojonegoro menjadi salah satu daerah di Jawa Timur yang menjadi lumbung pangan sebab mampu memproduksi hasil pertanian dalam jumlah yang besar, bahkan menjadi lumbung pangan nasional. Kabupaten Bojonegoro sendiri dikenal sebagai penghasil padi ketiga terbesar di Jawa Timur.
Tentu hal demikian menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Kabupeten Bojonegoro. Namun, satu hal yang menjadi sorotan pada bidang pertanian, dimana ini juga menjadi perhatian serius pemerinah yakni persoalan krisis regenerasi petani muda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 21,93% atau 6,2 juta orang petani muda dari jumlah keseluruhan petani. Artinya, secara nasional jumlah petani muda sangatlah minim, tidak terlepas juga bagi Kaupaten Bojonegoro.
Krisis Regenerasi Petani Muda
Persoalan regenerasi petani menjadi masalah yang serius di bidang pertanian. Jika jumlah petani muda terus menipis, dan tidak ada lagi penerus, maka bidang pertanian akan ditinggalkan. Padahal, bidang pertanian sangat menjanjikan ke depan. Namun hal ini tidak dapat ditangkap oleh kebanyakan pemuda di era sekarang. Pemuda di Bojonegoro kini ada kecenderungan lebih memilih untuk bekerja di sektor industri, rela merantau di luar kota bahkan ke luar negeri untuk mengais rezeki.
Potensi daerahnya sendiri mulai ditinggalkan, mencari pekerjaan yang dirasa lebih nyaman dan rela merantau di negeri orang. Bukanlah kita mengenal peribahasa “hujan emas di negeri orang, tidak lebih indah dari hujan batu di negeri sendiri”. Padahal jika dilihat, banyak sekali potensi di bidang pertanian dan kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian sangatlah tinggi, tetapi sering kali tidak terpenuhi. Kebutuhan itu tidak terpenuhi sebab banyak generasi muda tidak tertarik bekerja menjadi petani, bahkan memilih pengangguran sembari menunggu potensi pekerjaan di bidang selain pertanian.
Melihat tingkat pengangguran di Bojonegoro, pada tahun 2023 tembus di angka 36.411 orang. Padahal fakta di lapangan, masih banyak kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini tidak terserap secara optimal sektor pertanian. Faktornya tentu permasalahan pertanian yang sangat kompleks, sehingga masyarakat dan terutama generasi muda mulai enggan bekerja di sektor pertanian.
Terdapat beberapa persoalan yang menjadi faktornya, antara lain: stigma masyarakat terhadap profesi petani, efektivitas proses dan efisiensi hasil, persoalan lahan dan ancaman climate change, serta inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Stigma Negatif Masyarakat terhadap Profesi Petani
Stigma masyarakat terhadap profesi petani masih terbelenggu pada sinisme dan konotasi yang negatif. Profesi petani di masyarakat terstigma sebagai profesi kalangan menengah ke bawah, pekerjaan yang kotor, berat, tidak keren dan tidak menguntungkan, serta tidak “good looking” dibandingkan dengan profesi yang lain. Bahkan stigma seperti itu kerap kali muncul juga dari orang tuanya sendiri, dan meminta anaknya untuk tidak menjadi petani sebagaimana pekerjaan orang tuanya.
Stigma yang demikianlah, menjadikan generasi muda merasa minder untuk menjadi seorang petani. Stigma tersebut akan terkonstruksi di masyarakat jika tidak ada upaya diubah. Perubahan stigma negatif masyarakat terhadap profesi petani haruslah diupayakan, dengan jawaban yang mampu mematahkan persepsi-persepsi tersebut. Dari situlah, generasi muda setidaknya semakin percaya diri dan menaruh pilihan berprofesi sebagai petani, meskipun dengan berbagai tantangan di dalamnya. Petani adalah pahlawan pangan yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa Indonesia, serta dapat berperan pada pemenuhan pangan global.
Efektivitas Proses dan Efisiensi Hasil Pertanian
Permasalahan produksi yang sering dialami oleh petani di Indonesia, juga menjadi pertimbangan generasi muda untuk bertani yakni tentang efektivitas dan efisiensi. Mulai dari tahap awal, dimana harga benih dan pupuk yang mahal, sehingga petani kesulitan dalam permodalan awal. Kemudian, pada proses penanaman yang membutuhkan tidak sedikit tenaga, sebab kurangnya penggunaan teknologi modern. Ditambah lagi persoalan harga komoditas yang fluktuatif sebab permainan harga seringkali merugikan petani, sehingga antara modal yang dikeluarkan dengan laba yang didapatkan tidak seimbang.
Hal demikianlah menjadikan petani muda berpikir dua kali untuk menjadi petani. Tetapi hal itu dapat diselesaikan jika petani muda dapat mengoptimalkan kemampuannya. Kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan oleh generasi muda, dimana memiliki keterampilan dalam mengoperasikannya. Pengunaan teknologi dalam pertanian tersebut terbukti dapat mendobrak produktivitas dan efisiensi dalam proses produksi usaha pertanian. Dapat mengurangi tenaga fisik yang dibutuhkan, lebih memudahkan, dan menekan biaya produksi, sehingga mendapatkan laba yang seimbang.
Persoalan Lahan dan Ancaman Climate Change
Persoalan lahan menjadi masalah pokok bagi petani di Indonesia. Hal ini berdasarkan data bahwa rata-rata petani Indonesia itu hanya memiliki lahan tidak lebih dari 0,5 hektar. Bahkan faktanya banyak petani yang tidak memiliki lahan, dan terpaksa menyewa lahan. Sewa lahan yang dilakukan kerap kali menjadi boomerang yang menjadikannya rugi. Terlebih lagi, banyak alih fungsi lahan pertanian menjadi fungsi lain, seperti: perumahan dan Kawasan industri. Selain itu, ancaman climate change (perubahan iklim) menjadi momok yang nyata bagi petani. Perubahan iklim yang terjadi sangat memberikan dampak kepada petani, seperti: pergeseran musim tanam yang menyulitkan petani menentukan masa tanam dan panen, serta dapat mempengaruhi hasil panen dengan ancaman gagal panen.
Kebijakan Pemerintah yang Inkonsisten
Jargon pemerintah untuk mencapai swasembada pangan nyatanya seringkali tidak selaras dengan kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya saja, kebijakan impor yang tidak tepat. Memang produksi pangan dalam negeri kita belum memenuhi kebutuhan nasional, tetapi kebijakan impor pangan haruslah proporsional. Selain itu, yang perlu diperhatikan yakni terkait waktu impor seharusnya tidak bersamaan dengan masa panen, sebab dapat menjatuhkan harga, sehingga petani mengalami kerugian. Ketersediaan pupuk dengan subsidi pemerintah juga seringkali tidak merata, menjadikannya langka dan mahal harganya. Selain itu upaya untuk meningkatkan kapasitas petani melalui pemberdayaan-pemberdayaan masing terbilang kurang, menambah kompleksitas permasalahan di bidang pertanian.
Masa Depan Pertanian di Tangan Generasi Muda
Meskipun kompleksitas permasalahan sebagaimana diuraikan di atas menjadi persoalan serius di sektor pertanian, semoga tidak menjadikan generasi muda enggan untuk menjadi petani, tetapi justru berbondong-bondong memiliki tekad yang kuat untuk menuntaskan semua permasalahan tersebut. Pertanian sebagai garda terdepan bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangan yang primer dan pokok bagi setiap insan seperti berada di persimpangan jalan. Antara akan melejit dan mewujudkan swasembada pangan untuk ketahanan pangan, atau akan tersungkur jatuh dan ditinggalkan, sebab tidak ada regenerasi petani muda.
Nasib pertanian ke depan ada pada tangan generasi muda hari ini. Harapan besar itu berada di pundak setiap generasi muda untuk meuntuaskan persoalan, memajukan dan mencapai swasembada serta kedaulatan pangan.
Penulis adalah Anggota Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro