Tak Pernah Dipanggil Mediasi, Izin Cerai PNS dari Pj Bupati Bojonegoro Diduga Maladministrasi

Gedung Pengadilan Agama Ngawi, Jawa Timur.
Gedung Pengadilan Agama Ngawi, Jawa Timur.(istimewa)

SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari

Bojonegoro — Surat izin cerai yang diterbitkan oleh Penjabat (Pj) Bupati Bojonegoro, Jawa Timur diduga maladministrasi. Hal ini terjadi pada perkara perceraian melibatkan pasangan suami istri (pasutri) yakni KA dan AND yang sesama pegawai negeri sipil (PNS). Pihak suami dalam perkara ini berdinas di Kabupaten Ngawi, sedangkan pihak istri berdinas di salah satu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Kabupaten Bojonegoro.

Kuasa Hukum pihak suami, Agil Restu Prasetya Gutama, menuturkan tentang perkara cerai antara kliennya KA dengan istrinya AND yang prosedurnya diduga maladministrasi. Yakni berupa surat izin cerai yang didapat dari Pj Bupati Bojonegoro.

“Prosedur untuk mendapatkan izin cerai PNS sangatlah panjang memakan waktu lama,” kata pengacara asal Madiun ini kepada Suarabanyuurip.com, Senin (02/12/2024).

Agil, sapaan akrabnya, menduga terbitnya Surat Izin Cerai PNS dari Pj Bupati Bojonegoro tidak sesuai runtutan secara kedinasan dan lazim semestinya dilakukan dengan adanya surat menyurat secara resmi. Menurut dia, prosedur ini tidak dialami oleh kliennya.

Sebab, upaya pertama yang harus dilakukan dari pihak istri yang menghendaki perceraian, ialah ada pemanggilan secara kedinasan kepada pihak suami untuk adanya mediasi. Sedangkan surat pemanggilan resmi untuk mediasi yang ditandatangi oleh kepala instansi pihak istri, lanjut Agil, tidaklah ada.

“Harusnya ada agenda mediasi, tetapi pemberitahuan mediasi kepada instansi klien kami tidak ada dan tidak ada berita acara apapun, namun tahu – tahu surat izin cerai itu sudah jadi,” ujarnya.

Untuk itu, Agil mempertanyakan tahap usulan cerai PNS dari Badan Kepegawaian dan Kepelatihan (BKPP) yang diduga tidak memeriksa apakah tahapan mediasi sudah dilakukan atau belum. Sehingga terbit surat izin cerai.

“Oleh karena itu sangat kami sayangkan adalah prosedurnya di sini tidak runtut, apalagi perceraian ini melibatkan sesama birokrat, tentu prinsipal kami sangat menyayangkan hal ini,” ungkap Agil.

Berkaitan adanya dugaan maladministrasi, Agil mengaku, baru mengetahui setelah pihaknya meminta bukti surat kepada Panitera Pengadilan Agama di Ngawi pada saat mengajukan gugatan verzet dari pihak suami, setelah sidang pertama.

Gugatan verzet itu dilakukan untuk melawan putusan verstek, di mana dalam sidang gugatan dari pihak istri saat itu tidak dihadiri oleh prinsipal. Sebab saat itu prinsipal mendapat pengaruh agar tidak hadir oleh suatu pihak.

Setelah pihak suami mengetahui dugaan maladministrasi itu, kemudian membuat laporan ke BKPP dan Inspektorat Bojonegoro. Ketika melapor, pemberi kuasa hukum mengaku sempat dihalang-halangi oleh oknum diduga pegawai BKPP Bojonegoro. Bahkan laporan itu sempat dihentikan.

“Akibat laporan itu dihentikan, klien kami juga melapor ke Inspektorat Provinsi Jawa Timur,” tutur Agil.

Laporan kepada BKPP dan Inspektorat Bojonegoro itu dibuat, sebab menurut dia terbitnya surat izin cerai harus sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sebab tidak adanya penjadwalan untuk dilakukan mediasi yang dilakukan oleh instansi di Kabupaten Bojonegoro secara bertahap, berjenjang dan secara kedinasan keputusan atas surat izin perceraian yang di ajukan oleh pihak istri dinyatakan merugikan pihak suami.

“Ditambah lagi ada program 100 hari Presiden Prabowo Subianto maka prosedur birokrasi ini seharusnya transparan,” tegasnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala BKPP, Aan Syahbana, Inspektur Teguh Prihandono, dan Pj Bupati Bojonegoro Adriyanto, serta pengacara pihak istri KA, belum memberikan tanggapan hingga berita ini ditayangkan.(fin)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait