Bhinnasrantaloka: Filosofi Kemakmuran Masyarakat Bojonegoro

Oleh: A. Wahyu Rizkiawan

_Bagi masyarakat Bojonegoro, Bhinnasrantaloka bukan sekadar filosofi hidup dari masa silam, tapi formula pengelolaan Sumber Daya Alam untuk masa kini dan masa yang akan datang._

Kemakmuran menjadi salah satu visi pemerintahan Setyo Wahono – Nurul Azizah dalam membangun Bojonegoro kedepan. Entah disadari atau tidak, istilah ini tidak lahir begitu saja. Namun membawa spirit identitas yang telah lama terpendam. Bagi Bojonegoro, Kemakmuran bukan sekadar istilah klise, namun riwayat empiris.

Bagi Bojonegoro, Kemakmuran (dengan “k” besar) merupakan identitas “endemik” yang memiliki landasan filosofis cukup kuat. Landasan ini bahkan memiliki 3 paradigma yang mampu menghadirkan inspirasi masa silam, aktualisasi masa kini, dan investasi masa depan. Landasan filosofis 3 dimensi ini kami kenal dengan istilah Bhinnasrantaloka.

Konsep Bhinnasrantaloka mampu menggambarkan Kemakmuran dan besarnya Sumber Daya Alam (SDA) di Bojonegoro. Selain itu, Bhinnasrantaloka juga menunjukan betapa para pendahulu di Bojonegoro, telah memiliki nilai-nilai etik serta keluhuran budi dalam mengelola dan menyiapkan SDA untuk generasi berikutnya.

Secara harfiah, Bhinnasrantaloka (Bhinnasrantalokapalaka) memiliki arti Penyatuan Nusantara. Istilah Jawa Kuno ini muncul pada baris ke-5 Prasasti Maribong (1264 M) yang dikeluarkan Raja Wisnuwardhana, sebagai hadiah untuk para Begawan Jipang (Bojonegoro), atas jasa mereka yang membantu leluhurnya dalam menyatukan Nusantara.

Berkat bantuan Para Begawan Bojonegoro itulah, leluhur Wisnuwardhana (dalam hal ini Raja Ken Arok), mampu mendirikan Tumapel atau Kerajaan Singhasari. Ini menjadi alasan utama Raja Wisnuwardhana sangat hormat pada para Begawan Bojonegoro. Penghormatan itu diwujudkan dengan ditulisnya Prasasti Maribong.

Maribong, tempat di mana prasasti itu ditancapkan Raja Wisnuwardhana pada 1264 M, saat ini berada di Dusun Merbong, Ngraho, Bojonegoro. Di lokasi berdekatan sungai Bengawan inilah, kaidah penghormatan sekaligus status Bhinnasrantaloka itu disemat Raja Wisnuwardhana dengan penuh “Kebanggaan”.

Istilah Bhinnasrantaloka yang tertulis pada Prasasti Maribong, merupakan status “endemik” Bumi Bojonegoro. Sejauh ini, istilah ini hanya ditemui dalam Prasasti Maribong. Bhinnasrantaloka menjadi identitas Para Begawan Bojonegoro yang berkontribusi besar atas penyatuan Nusantara dan berdirinya Kerajaan Singhasari.

Konsep Bhinnasrantaloka mirip dengan Bhinneka Tunggal Ika. Bedanya, Bhinnasrantaloka jauh lebih tua dibanding Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika baru ditulis Mpu Tantular pada 1389 M, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk Majapahit. Sementara status Bhinnasrantaloka sudah ditetapkan Raja Wisnuwardhana untuk wilayah Bojonegoro pada 1264 M.

Inspirasi Masa Silam

Bhinnasrantaloka menjadi bukti empiris bahwa sejak berabad-abad silam, tokoh-tokoh yang hidup di Bojonegoro telah memiliki kemampuan mumpuni dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA). Terbukti dari Kedaulatan Ekonomi yang mereka miliki. Dari Kedaulatan Ekonomi inilah, mereka punya wibawa sosial serta kharisma, sehingga mampu berkontribusi dalam misi yang lebih luas: Penyatuan Nusantara.

Bhinnasrantaloka menjadi bukti bahwa Kemakmuran, sudah identik Bojonegoro, bahkan ketika wilayah ini belum bernama Bojonegoro. Wujud Kemakmuran ini, bisa dilihat dari betapa hormatnya Raja Wisnuwardhana — dan Raja-raja setelahnya — pada para Begawan Bojonegoro, hingga membuat mereka menulis prasasti yang mengabarkan kondisi SDA di Bojonegoro.

Secara etimologis, Bhinnasrantaloka merupakan Bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti Penyatuan Nusantara. Namun ada fakta menarik. Jika di-balagh menggunakan Bahasa Sanskerta, istilah Bhinnasrantaloka mampu menghadirkan makna baru yang juga memiliki korelasi filosofis dengan SDA Bojonegoro.

Dalam Bahasa Sanskerta, Bhinnasrantaloka terbentuk dari tiga kata; Bhinna, Sranta, dan Loka. Bhinna memiliki arti membangun atau membina; Sranta memiliki makna sabar; dan Loka bermakna tempat atau wilayah. Dalam hal ini, Bhinnasrantaloka bisa dimaknai sebagai proses “membangun dan membina sebuah wilayah (Bojonegoro) dengan penuh kesabaran”.

Aktualisasi Masa Kini

Kedekatan Bojonegoro dengan besarnya SDA memang aktual. Salah satu contoh kecilnya adalah: Bojonegoro menjadi Penyangga Migas Nasional, dibuktikan adanya 6 lapangan migas berproduksi: Banyu Urip dan Kedung Keris (Blok Cepu); Unitisasi Gas Jambaran-Tiung Biru (Blok Cepu); Lapangan Minyak Sukowati, Blok Tuban; Gas Kolibri; dan Lapangan Minyak Sumur Tua Wonocolo-Kedewan. Aset endemik semacam ini, sudah sepatutnya membawa kemakmuran.

Pertambangan Migas di Bojonegoro berdampak pada peningkatan pendapatan daerah, seperti Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, Participating Interest (PI), dan lainnya. Dalam 5 tahun terakhir misalnya, rata-rata APBD Bojonegoro capai Rp 7 Triliun. Jumlah APBD ini menempati peringkat tertinggi ke-2 di Jawa Timur.

Dalam kaidah Bhinnasrantaloka (konsep membina sebuah wilayah), berkah faktual yang bisa kita saksikan dan nikmati hingga kini, adalah sedimentasi keluhuran budi, sekaligus tauladan pekerti dari para pendahulu Bojonegoro. Sebab, mereka mampu mengelola SDA itu dengan baik. Sehingga generasi yang hidup saat ini masih bisa menyaksikan dan merasakannya.

Investasi Masa Depan

Meski memiliki Sumber Daya Migas melimpah, pemerintah harus sadar bahwa Sumber Daya itu bersifat fana atau non-renewable (tak dapat diperbaharui). Artinya, jika diproduksi terus menerus, akan habis. Karena itu, harus ada inisiasi untuk mengawetkannya. Termasuk melalui Dana Abadi Migas (Endowment Fund) untuk Bojonegoro.

Dalam kaidah “Bhinnasrantaloka: membangun dan membina wilayah dengan penuh kesabaran” — inisiasi Dana Abadi Migas ini bertujuan untuk memastikan pemanfaatan berkah Migas demi keberlanjutan pembangunan daerah. Sehingga, generasi berikutnya akan tetap bisa menikmati anugerah tersebut.

Kemampuan untuk “sabar berinvestasi” demi anak cucu, adalah sikap Para Begawan — sifat mulia para pendahulu Bojonegoro dalam menjamin keselamatan dan keamanan generasi berikutnya. Tauladan mulia dari para pendahulu itu, termaktub jelas pada kaidah Bhinnasrantaloka yang termuat pada prasasti Maribong.

Kemampuan untuk memikirkan orang lain (generasi berikutnya), adalah Kompas hidup Para Begawan, seperti telah mereka contohkan pada kaidah Bhinnasrantaloka. Sehingga, jika tidak ditakdir memiliki sikap Kebegawanan, akan sulit untuk memikirkan orang lain. Sebab, sibuk memikirkan diri sendiri.

Begitupun, kemampuan untuk mau dan mampu menginisiasi Dana Abadi Migas secara “Akuntabel” dan “Transparan” demi generasi berikutnya, tentu butuh kompas hidup Para Begawan. Tanpa sikap Kebegawanan, akan sulit untuk memikirkannya. Sebab, sibuk ramban proyek untuk diri sendiri.

Karena sangat sulit itulah, maka bukan kebetulan jika jauh-jauh hari, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. telah berpesan melalui sabdanya: _”Simpanlah sebagian daripada hartamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu.” (HR.Bukhari)._

Penulis adalah dinamisator literasi dan periset partikelir

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait