SuaraBanyuurip.com – Sabtu pagi 28 Juni 2025, suasana penuh keakraban terasa saat 13 orang saling memperkenalkan diri. Mereka duduk mengelilingi meja besar berbentuk oval di salah satu ruang Gedung Pusat Informasi Publik (PIP) Jl AKBP M Soeroko Bojonegoro. Dengan penuh semangat, mereka memulai acara Pelatihan Menulis Kearifan Lokal yang digelar Sekolah Menulis Mastumapel.
Mayoritas peserta pelatihan berprofesi sebagai guru. Meski ada juga yang pegiat literasi dan mahasiswa dari Lembaga Pers Mahasiswa Tuban. Jarum jam menunjukkan pukul 08.30 WIB, dan ketika pelatihan tersebut dimulai.
Materi disampaikan oleh Nanang Fahrudin, penulis buku Bodjonegoro Tempoe Doeloe. Energi positif begitu terpancar dari para peserta, seolah tiap pasang mata siap menyerap setiap kata dan kisah yang akan dibagikan.
Menulis Kearifan Lokal: Dimulai dari Hal Kecil di Sekitar
Nanang Fahrudin membuka sesi dengan mengajak peserta mencerap apa-apa yang ada di sekitar. Bahwa kearifan lokal tak melulu soal ritual besar atau legenda heroik.
“Apapun yang dilakukan masyarakat setempat dan terus lestari, itu bisa kita tulis,” ujarnya dengan suara renyah.
Nanang mendorong peserta untuk memulai dari hal-hal kecil, yang mungkin sering terlewatkan dalam keseharian, tapi menyimpan makna mendalam.
Contohnya bisa berupa kebiasaan menanam sayur, buah dan tanaman di pekarangan rumah yang konsepnya disebut karang kriti. Atau tempat-tempat yang memiliki tautan makna keseharian dengan warga, semisal situs makam, sendang atau sumber air, dan lainnya. Intinya, menurut dia, kearifan lokal adalah cerminan cara hidup, keyakinan, dan praktik yang telah membentuk identitas suatu masyarakat dari generasi ke generasi.

Dengan meminjam kacamata seorang penulis dan lewat reportase mendalam, hal-hal kecil ini bisa menjadi pintu gerbang menuju narasi yang kaya dan penuh makna. Peserta diajak untuk membuka mata, hati dan telinga, menangkap fenomena-fenomena tradisi yang masih bersemayam di lingkungan terdekat mereka.
Diskusi Penuh Warna Tentang Kearifan Lokal Bojonegoro
Berjalannya waktu, suasana diskusi kian meriah. Para peserta mulai aktif bercerita dan berbagi pengalaman tentang kearifan lokal di daerah mereka masing-masing. Setiap kisah yang muncul seperti membuka lembaran baru dari khazanah Bojonegoro.
Seorang guru perempuan dengan antusias menceritakan tradisi unik yang ditemuinya tentang mengubur lele jantan dan betina saat akan membangun rumah. Peserta lain, juga seorang guru membagikan kisah tentang tradisi manganan atau sedekah bumi di makam Sedeng di seputaran Kota Bojonegoro. Kisah-kisah ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan masyarakat dengan warisan leluhur mereka, meskipun mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang luar.
Tak hanya itu, muncul pula cerita tentang tempat bernama Sekatok, sebuah tempat yang konon menjadi lokasi pertapaan seorang wali. Kisah ini memicu senyum dan memantik rasa penasaran akan legenda lokal yang melekat di setiap jengkal tanah Bojonegoro.
Seorang guru lain berbagi cerita praktik penyembuhan duri yang nyangkut di tenggorokan dengan tulang warak yang dimasukkan ke dalam air, lalu airnya diminum. Cara tersebut menjadi pengobatan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Banyak lagi cerita-cerita serupa yang mengalir, memperlihatkan kekayaan kearifan lokal yang belum banyak terekspos dan menunggu untuk diangkat ke permukaan melalui tulisan. Semangat para peserta yang luar biasa menunjukkan bahwa Bojonegoro menyimpan segudang kisah yang siap dibagikan.
Siap Menulis Kearifan Lokal
Tepat pukul 11.30 WIB, pelatihan berakhir dengan sesi foto bersama. Setelah sesi ini, para peserta diminta untuk segera mengumpulkan tema dan lokasi kearifan lokal yang akan mereka tulis.
Dalam dua minggu ke depan, para peserta akan menjelajahi beberapa sudut Bojonegoro, mewawancarai narasumber, mengamati tradisi, dan merasakan langsung kehadiran kearifan lokal, lalu menuangkannya dalam bentuk tulisan sesuai gaya khas masing-masing.
Program Menulis Kearifan Lokal yang diinisiasi oleh Sekolah Menulis Mastumapel ini bukan hanya tentang menulis, tetapi tentang mengikat kembali benang-benang kearifan lokal agar tak lekang oleh waktu dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.[ns]