SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro memprakarsai diskusi menyoal RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana) dan Permenkominfo PSE (Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Penyelenggara Sistem Elektronik).
Diskusi membahas issue nasional yang sedang menghangat ini dipusatkan di Sematta Coffe, komplek perumahan Pandawa Land, Desa Pacul, Kecamatan Kota, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Minggu (24/07/2022). Diikuti oleh sejumlah elemen mahasiswa, aktivis, jurnalis, penulis buku, pegiat literasi dan beragam kalangan profesi.
Dipandu oleh Deddy Mahdi Assalafi, Ketua AJI Bojonegoro. Acara sederhana ini menghadirkan narasumber Muhammad Roqib, Dosen Fakultas Hukum UMG (Universitas Muhammadiyah Gresik) dan AW Syaiful Huda, Direktur BI (Bojonegoro Institut) sebagai pemantik topik yang sedang dikemukakan.
Muhammad Roqib, memaparkan sejarah panjang KUHP. Yang mana KUHP dibuat pada 1830 di Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial kemudian memberlakukan secara nasional sejak 1915 hingga saat ini. Atau telah digunakan sekira 107 tahun.
KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu lalu disebut memberangus seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai lokal ini lantas tergerus oleh hukum penjajah.
“Namun jangan salah, bukan Belanda yang membuat ini, melainkan kodifikasi dari Napoleon dari sistem hukum Romawi kuno,” kata mantan jurnalis ini.
Rancangan Undang Undang KUHP untuk mengganti KUHP peninggalan kolonial akhirnya mencuat pada tahun 2019. Namun resistensi yang begitu tinggi terjadi di masyarakat. Sejumlah pasal dipersoalkan publik karena dinilai multitafsir. Draft itu kemudian ditunda pengesahannya oleh Pemerintah dan DPR dengan catatan perlu pendalaman materi dari sisi pemerintah.
“Sekarang RKUHP ini dibuka lagi karena masuk program legislasi nasional prioritas. Tetapi kini skemanya berbeda,” ujarnya.
Dijelaskan, jika dilihat dari penjelasan RUU KUHP ada 4 misi yang menjadi latar belakang yang menjadi alasan kenapa pemerintah mengingat perlu membuat perubahan. Ada 4 misi yang menjadi pertimbangan.
Pertimbangan pertama adalah misi dekolonialisasi. Kedua adalah misi demokratisasi (mengakui hukum adat). Ketiga berupa misi konsolidasi. Dan keempat adalah misi harmonisasi.
“Semangat dari 4 misi perubahan KUHP ini di dalamnya hanya 14 isu krusial yang boleh diberi masukan. Padahal ada 600-an pasal yang hendak diubah. Draft ini menurut Dewan Pers ada 9 pasal yang dinilai berbahaya dan mengancam kemerdekaan pers,” jelasnya.
“Draft RKUHP ini banyak yang multitafsir. Padahal hukum itu harus pasti. Tidak boleh aturan hukum mudah diinterpretasikan secara berbeda,” lanjutnya.
Perihal Permenkominfo PSE, pria yang akrab disapa Roqib ini mengkaji dari sisi yuridis. Bahwa peraturan menteri berada di ranah regulasi, bukan legislasi. Regulasi tidak dibolehkan membebani rakyat dalam penerapan sanksi.
“Regulasi adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif. Yang boleh menjatuhi denda, sanksi, pidana, adalah legislasi yang dibuat oleh DPR,” ucapnya.
Sementara, Direktur BI, AW Syaiful Huda mengulas Permenkominfo PSE. Salah satunya, Ihwal pasal soal permintaan akses dan proporsionalitas. Hal itu dianggap bertabrakan dengan perlindungan privasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
“Permasalahannya, kita belum punya UU perlindungan data. Menurut saya PSE ini berbahaya,” tegasnya.
Jalannya diskusi tersebut berlangsung hidup dan aktif. Dan memunculkan beberapa opsi solusi dalam menyikapi dua issue yang sedang didiskusikan. Salah satu peserta dari kalangan aktivis, Naura, misalnya. Dia berbicara mengenai perlunya manifesto gerakan intelektual dari masyarakat.
“Saya menangkap ada semacam upaya meredam gerakan sipil. Jadi perlu dipikirkan manifesto gerakan apa yang kita butuhkan,” ungkapnya.(fin)