SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Belum genap 40 hari, khalayak penikmat sastra Jawa ditinggalkan oleh sang maestro cerita cekak (cerita pendek) asli Bojonegoro. Djajus Pete (almarhum), demikian nama yang disandang semasa hidup. Sebagian kawan akrabnya menilai, belum ada seniman sastra Jawa yang sebanding dalam kelasnya.
“Alhmarhum Mas Djajus Pete ini sosoknya mlete. Dalam bidangnya ya ini maksudnya,” kata Arieyoko, salah satu sahabat dekat mendiang, kepada SuaraBanyuurip.com.
Mantan wartawan Republika ini mengaku, mengenal penulis sastra Jawa Djajus Pete, sejak sekitar awal tahun 1986 dalam kegiatan jurnalisme bersama banyak rekan yang lain. Idealis, pekerja keras, dan seniman murni. Tiga kriteria itu dikenangnya untuk menggambarkan kepribadian Djajus Pete.
“Meskipun dia adalah seorang guru SD. Ketika itu juga menjadi wartawan Harian Romantika dan Surabaya Post,” ujarnya.
Tulisan Djajus Pete, dikatakan Arieyoko, merajai di banyak majalah berbahasa Jawa. Sebut saja majalah “Penyebar Semangat” dan “Jayabaya”. Karena tulisan yang dibuat dianggap membawa genre baru, yakni surealisme ketika itu.
Cerkak karya Djajus Pete, dikisahkan, suatu hari pernah dibawakan dalam perhelatan tingkat nasional. Meskipun dibacakan dalam Bahasa Jawa, namun mampu membuat jagad kesusastraan Indonesia terhenyak. Sebab dirasa begitu majunya sastra Jawa melampaui sastra Indonesia.
Cerita pendek beraliran surealis itu, dilihat sebagai karya yang membuat penonton larut dalam imajinasi tanpa batas yang langka hingga saat ini. Misalnya, saat Djajus bercerita tentang sepasang anak manusia yang sedang dimabuk asmara. Namun kemudian keduanya sama-sama mati.
“Setelah mati, sepasang kekasih itu ternyata bertemu lagi di surga. Nah, di surga ini mereka pacaran. Tetapi ketahuan malaikat. Karena di surga dilarang berpacaran, lalu dikembalikan keduanya kembali ke dunia. Lha ini kan dongeng yang membawa genre baru saat itu,” kenangnya.
Mantan Ketua PWI Bojonegoro Persiapan ini menuturkan, cekak karya Djajus terhimpun dalam dua buku. Satunya, Goro-goro kagiri giri. Kedua diterbitkan oleh penerbit dari Yogya berjudul manuk-manuk mabur. Ada juga cerkak itu diterjemahkan dalam Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris.
“Penghargaan yang diterima Mas Djajus banyak sekali. Saking banyaknya saya sampai lupa apa saja,” ucapnya.
Terhadap para seniman yang masih muda, Arie mengingat Djajus tidak pernah bersikap nyinyir. Ia lebih bisa menerima sajian sastra para junior. Pria yang aktif menjadi editor buku sastra Jawa ini menilai hal demikian tersebab klasimen Djajus sebagai “Begawan Sastra”.
Klasimen sebagai Begawan di bidang sastra Jawa inilah yang menurut Arie belum tergantikan. Baik di Bojonegoro khususnya, maupun Indonesia secara umum. Dengan keahlian tutur yang dimiliki, Djajus bisa mendongeng yang begitu membius, bersanding dengan rokok cap “Oeloeng” dan kopi segelas, sejak habis isya sampai menjelang subuh.
“Jadi ya eman. Di Bojonegoro ini belum ada sastrawan Jawa sekelas almarhum,” pungkasnya.(fin)