Kayu Tebangan DLH di TPA Bandungrejo Tidak Tertata Rapi

BERSERAKAN : Tumpukan kayu milik DLH Bojonegoro tak tertata rapi sesuai jenis dan ukurannya di TPA Bandungrejo.

Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari

Bojonegoro – Kayu tebangan pohon peneduh milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang ditempatkan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Bandungrejo, masih belum tertata rapi sesuai jenis dan ukurannya. Padahal, kayu-kayu tersebut sedianya akan dilelang melalui BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) setempat.

Kepala DLH Hanafi, melalui Kepala Bidang Persampahan dan Ruang Terbuka Hijau, Muhayanah mengatakan, bahwa pohon peneduh wilayah kota ditempatkan di TPA Bandungrejo. Total jumlah pohon yang direncanakan ditebang tahun 2022 mencapai sebanyak 1.198 batang.

Rinciannya, ruas Jalan Dr. Cipto 162 pohon, Jalan Pangsud, 68 pohon, Jalan Imam bonjol 37 pohon, Jalan Mh. Thamrin 154 pohon, Jalan Pemuda 124 pohon, Jalan Hayam Wuruk 417 batang pohon.

“Yang sudah ditebang, yakni di Jalan KH. Mansyur 54 pohon dan Jalan Basuki Rahmad 182 pohon,” kata Muhayanah kepada SuaraBanyuurip.com, Jumat (26/08/2022).

“Sedangkan jenis pohon yang ditebang yaitu, angsana, ketepeng, bintaro, glodokan, mangga, dan kamboja,” lanjutnya.

Sementara itu, dari penelusuran SuaraBanyuurip.com di TPA Bandungrejo, diperoleh fakta bahwa kayu yang ditempatkan di TPA sekitar ladang Gas Jambaran-Tiung Biru (JTB) tersebut hanya ditumpuk asal-asalan saja tanpa ditata menurut jenis kayunya. Kendati, terpasang penanda kavling darimana asal tebangan kayu tersebut.

Kavling kayu milik DLH Bojonegoro dari Jalan Basuki Rahmad ditumpuk tidak tertata rapi sesuai jenis dan ukurannya.
© 2022 suarabanyuurip.com/Arifin Jauhari

Sebelumnya, Kepala BPKAD Bojonegoro, Luluk Alifah mengungkapkan, kayu tebangan pohon peneduh DLH tahun 2019-2021 telah dilelang di KPKLN Madiun pada 2 Agustus 2022. Namun, dinyatakan gagal karena tidak ada tindak lanjut dari pemenang lelang

Kayu yang dilelang menggunakan standar harga kayu bakar tersebut merupakan campuran dari berbagai jenis. Paling banyak dari jenis angsana, glodokan, trembesi, dan ketapang.

“Volume kayu berdasarkan surat dari DLH sebanyak 1.418 stapel meter,” ungkap Luluk.

Harga limit kayu untuk penawan terendah disebut sebesar Rp70,9 juta. Hal ini disebabkan karena kondisi kayu tidak tertata dan sudah menurun karena pengaruh cuaca, sehingga mengalami pelapukan dan lain sebagainya

“Tim menyepakati diambil nilai terendah, yaitu standar harga untuk kayu bakar dengan penyesuaian atau susut karena lapuk,” ujarnya.

Penurunan standar harga kayu tebangan pohon peneduh tersebut menjadi seharga kayu bakar, disayangkan oleh Wakil Bupati (Wabup) Bojonegoro Budi Irawanto. Karena terdapat jenis pohon yang bernilai tinggi. Yaitu angsana, mahoni, dan trembesi misalnya.

“Saran saya harusnya jenis kayunya dikelompokkan, dan sejak sebelum penebangan direncanakan. Sehingga tidak ‘digebyah uyah’ jadi kayu bakar semua. Eman-eman kayu angsananya,” kata pria asli Bojonegoro ini.

Saran Wabup yang karib disapa Mas Wawan ini senada dengan penuturan Administratur Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bojonegoro, Irawan Darwanto Djati. Irawan menyebut jika kayu angsana rimba, relatif mahal. Harganya berkisar antara Rp450 ribu hingga Rp800 ribu per meter kubik.

“Tetapi untuk menentukan harga, kayu angsana harus melalui uji dengan beberapa kriteria. Karena ada kualitas, kelas, dan diameter yang berbeda yang menjadikan harganya juga berbeda,” tuturnya.(fin)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *