Jakarta – Beban subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah kian memberatkan APBN akibat masih bertenggernya harga minyak mentah di atas US$ 100/ barel. Untuk BBM jenis solar, subsidi yang ditanggung pemerintah mencapai 63% dari harga keekonomian atau harga riil Rp13.950/liter. Sedangkan pertalite, subsidi yang harus digelontorkan sebesar 53% dari harga seharusnya Rp14.450/liter.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan semenjak menyampaikan tambahan subsidi dan kompensasi untuk BBM dan listrik kepada DPR, harga minyak mentah dan ICP tidak kunjung turun. Justru menunjukkan tren yang semakin meningkat. Melihat outlook harga minyak sampai dengan akhir tahun yang diterbitkan oleh EIA menunjukkan harga minyak di US$104,8/barel dan berdasarkan forecast konsensus harga minyak bahkan mencapai US$105.
“Jadi waktu kita membuat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yang sudah dibahas dengan DPR dengan harga minyak US$100/barel, jelas bahwa menurut forecast dari konsensus maupun dari energi organization itu US$100/barel itu lebih rendah dari kemungkinan realisasi. Hari ini pun kita juga lihat harga minyak juga masih di atas US$100,” ungkapnya saat konfrensi pers beberapa hari lalu.
Namun demikian, lanjut Sri Mulyani, meski harga minyak mentah dan ICP terus meningkat, harga jual eceran (HJE) energi untuk masyarakat tidak berubah. HJE tetap karena adanya subsidi Pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan harga keekonomiannya.
Saat ini harga solar yaitu Rp5.150/liter. Jika menggunakan ICP US$105 dan kurs rupiah Rp14.700/US$ maka harga solar harusnya di Rp13.950/liter.
“Jadi harga yang dijual kepada masyarakat itu hanya 37%nya. Artinya masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63% dari harga keekonomiannya atau harga riilnya. Itu Rp8.800/liter,” jelas Menkeu.
Kemudian untuk Pertalite yang saat ini berada pada harga Rp7.650/liter, maka dengan ICP US$105 dan kurs nilai tukar Rp14.700 harga keekonomiannya seharusnya Rp14.450/liter. Artinya, harga Pertalite sekarang ini hanya 53% dari yang seharusnya.
Selanjutnya untuk Pertamax pun yang sekarang harganya di Rp12.500/liter, seharusnya memiliki harga Rp17.300/liter.
“Jadi bahkan Pertamax sekalipun yang dikonsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, berarti yang pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi Rp4.800,” tandas Menkeu.
Sementara itu, LPG yang sekarang harga jual per kilo adalah Rp4.250 kalau mengikuti harga saat ini harusnya berada di angka Rp18.500/kg. Jadi setiap kg LPG, konsumen mendapatkan subsidi Rp14.250.
“Jadi kalau setiap kali beli LPG 3kg, kita bayangkan maka mereka mendapatkan Rp42.000 lebih,” pungkas Menkeu.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, menegaskan bahwa secara kelembagaan DPR RI, khususnya Komisi VII, belum mengadakan Rapat Kerja (Raker) dengan pihak Pemerintah terkait dengan agenda kebijakan pembatasan ataupun penyesuaian harga BBM bersubsidi.
“Jadi hingga kini tidak ada persetujuan Komisi VII DPR RI atas rencana Pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi,” tegasnya.
Mulyanto mengakui ada usulan dari beberapa anggota Komisi VII agar mengadakan rapat kerja khusus untuk membahas persoalan pembatasan ataupun penyesuaian harga BBM bersubsidi. Namun hal itu masih sebatas usulan.
“Sehingga, sampai saat ini tidak ada satu kalimat pun dalam kesimpulan raker atau catatan rapat tentang persetujuan Komisi VII DPR RI terkait dengan penyesuaian harga BBM bersubsidi,” tandas Mulyanto kembali dalam keterangan persnya dikutip dari Parlementaria.
Ia menambahkan, raker Komisi VII dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada Rabu, 24 Agustus 2022 lalu hanya membahas evaluasi laporan keuangan anggaran tahun 2021 dan progres anggaran tahun 2022. Kesimpulannya, mendesak Menteri ESDM untuk merealisasikan penambahan kuota BBM bersubsidi untuk tahun 2022, dimana untuk kuota solar menjadi 17 juta KL dan kuota Pertalite menjadi 28 juta KL.
Sebab diperkiraan kuota BBM bersubsidi ini akan habis pada bulan Oktober 2022. Untuk diketahui, kuota Pertalite dan solar untuk tahun 2022 masing-masing sebesar 23 juta kilo liter dan 15 juta kilo liter.
Mulyanto menegaskan Fraksi PKS menolak rencana Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut. Pihaknya lebih menyarankan agar pemerintah melaksanakan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi kepada mereka yang benar-benar berhak.
Dari hasil simulasi Pertamina, lanjut dia, pembatasan subsidi hanya untuk kendaraan roda dua, angkot dan angkutan sembako akan dapat menghemat anggaran subsidi sebesar 69 persen.
“Penghematan itu lumayan baik daripada menyesuaikan harga BBM subsidi,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, jika langkah tersebut dikombinasikan dengan pengawasan yang lebih ketat, agar tidak terjadi kebocoran BBM berubsidi baik berupa ekspor ilegal ke negara tetangga, penimbunan, perembesan ke sektor pertambangan maupun sektor industri.
“Strategi pembatasan dan pengawasan kami rasa akan dapat mengendalikan volume distribusi BBM bersubsidi,” pungkasnya.(suko)