Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Komisi VII DPRD RI menuding pemerintah tidak serius untuk merivisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Sampai saat ini Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas revisi UU Migas tersebut tidak disertai daftar inventarisasi masalah (DIM). Padahal UU Migas sudah tidak relevan dan menjadi salah satu penyebab hengkangnya sejumlah perusahaan migas multinasional kelas kakap dari Indonesia.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyampaikan, hengkangnya beberapa perusahaan migas asing dari Indonesia harusnya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk berbenah. Pemerintah harus segera mengevaluasi berbagai aturan yang membuat investor migas asing tidak betah melanjutkan kegiatan investasi di Indonesia. Termasuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang dinilai sudah tidak relevan.
Menurut politisi PKS itu, bila kondisi ini terus dibiarkan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan negara yang cukup besar. Ujung-ujungnya masyarakat Indonesia yang akan dirugikan. Mulyanto menyebut selama ini DPR sering mengingatkan pemerintah terkait pentingnya pembahasan revisi UU Migas ini.
“Tapi sayangnya, itu tidak ditanggapi serius oleh pemerintah,” tegasnya.
Mulyanto mengungkapkan, hingga kini Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas revisi UU Migas tersebut tidak disertai daftar inventarisasi masalah (DIM). Bahkan sudah lewat 60 hari sejak surat diterima DPR. Sehingga pembahasan belum bisa dilaksanakan.
“Bagaimana DPR mau membahas revisi UU Migas ini kalau Presiden tidak juga mengirimkan DIM. Karena pembahasan RUU itu kan harus mengacu kepada DIM,” ujar Mulyanto dalam keterangan persnya yang dikutip Parlementaria, Selasa (22/11/2022).
Sebelumnya, lanjut dia, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, pemerintah memasukan revisi UU Migas, termasuk usulan pembentukan kelembagaan BUMN Khusus Migas. Namun pada saat pembahasan, pemerintah sendiri yang tidak tidak siap dan mencabut usulan bahasan tersebut.
“Padahal ada beberapa hal penting yang perlu diatur dalam UU Migas yang baru. Terutama terkait masalah kelembagaan dan perizinan,” tandasnya.
Pihaknya berharap dengan UU Migas ini lahir sebuah lembaga yang berwenang penuh untuk mengatur kegiatan hulu migas yang selama ini secara sementara dijalankan oleh SKK Migas. Lembaga ini, kata Mulyanto, harus punya kewenangan penuh untuk mengatur berbagai kebijakan migas secara komprehensif. Tidak parsial seperti yang berlaku selama ini.
“Kalau perlu kelembagaannya harus setingkat kementerian. Agar kepala lembaga ini dapat berbicara langsung dalam rapat kabinet,” tegasnya.
Menurut Mulyanto, jika SKK Migas berubah menjadi lembaga setingkat kementerian, maka keputusan dan koordinasi implementasi kebijakan terkait migas dapat diselesaikan dengan cepat dan efisien.
“Selain itu UU Migas yang baru nanti harus dapat menyederhanakan birokrasi perizinan. Ide untuk membuat layanan satu atap migas saya rasa cukup baik. Sehingga investor tidak repot wara-wiri ke berbagai kementerian untuk mendapatkan berbagai izin. Sudah sama-sama kita ketahui dimana ada izin, di sana ada biaya yang harus dikeluarkan. Akibatnya biaya investasi menjadi tinggi,” jelas Mulyanto.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Maman Abdurahman sebelumnya juga menyampaikan, UU Migas yang baru akan dapat memberikan kepastian hukum dan menarik minat investasi hulu migas. Sebab di tengah kondisi seperti ini setiap investor membutuhkan kepastian hukum. Agar hengkangnya perusahaan minyak seperti Total, Chevron, ConocoPhillips, dan Shell di Blok Masela yang terjadi sekarang ini tidak terulang di masa mendatang.
“Segera selesaikan Revisi UU Migas, selambat-lambatnya bulan Juni 2023. Ini sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia,” tegas Maman saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan SKK Migas di ruang rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, turunnya investasi itu dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan migas yang cenderung menahan investasi mereka pada portofolio berisiko. Namun ia menilai investasi 2022 yang ditekan rendah tetap menunjukkan performa positif.
Dwi mengakui kenaikan harga minyak yang bertahan di posisi atas 90 dolar AS per barel, bahkan hingga menyentuh nyaris 128 dolar AS per barel pada Maret 2022 lalu, tak cukup untuk menggairahkan investasi di sektor hulu migas di tanah air. Perusahaan justru memilih memperkuat dana tunai (cash) dan menahan investasinya.
Mantan Dirut Pertamina itu menambahkan, berdasarkan data SKK Migas, realisasi investasi sektor hulu migas RI belum mencapai target. Hingga Oktober 2022 realisasi investasi sektor hulu migas baru mencapai 9,2 miliar dolar AS atau 70 persen dari target investasi tahun ini sebesar 13,2 miliar dolar AS.
“Meski begitu, outlook investasi hulu migas hingga akhir tahun ini kita perkirakan akan meningkat 11 persen dibandingkan tahun 2021 yang hanya 10,9 miliar dolar AS menjadi 12,1 miliar dolar AS,” pungkas Dwi.(suko)