Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Bali – SKK Migas menegaskan hengkangnya sejumlah perusahaan migas kelas kakap dari Indonesia karena kontrak kerja mereka telah berakhir. Sementara Komisi VII DPR RI sebelumnya menilai perusahaan tersebut tidak melanjutkan kontraknya disebabkan belum adanya kepastian hukum karena sampai hari ini revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas tak kunjung rampung.
Sejumlah perusahaan raksasa migas yang tidak melanjutkan kontraknya adalah Chevron Indonesia Company (CICO) telah memutuskan untuk keluar dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur, lalu Shell memutuskan keluar dari proyek gas Lapangan Abadi, Blok Masela di Maluku, ConocoPhillips keluar dari proyek gas Lapangan Grissik, Blok Corridor, Sumatera Selatan, dan Total.
Sekretaris SKK Migas, Taslim Yunus menyampaikan, perginya beberapa perusahaan migas dari Indonesia tersebut disebabkan kontraknya telah berakhir.
“Karena kontrak mereka sudah habis,” ujar Taslim menjawab pertanyaan suarabanyuurip.com saat menjadi narasumber pada Media Gathering yang diselenggarakan oleh Regional Indonesia Timur, di Bali, Sabtu (26/11/2022) lalu.
Sesuai aturan, lanjut Taslim, setelah kontrak perusahaan tersebut habis, maka lapangan migas yang dikelola dikembalikan kepada pemerintah. Oleh pemerintah kemudian pengelolaannya ada yang dilelang dan diserahkan kepada Pertamina.
Taslim mencontohkan seperti Blok Masela. Pengelolaan lapangan migas tersebut diserahkan pemerintah kepada Pertamina. Namun Pertamina tetap menawarkan kepada kontraktor lama untuk berinvestasi bersama.
“Mereka inginnya nilai investasinya lebih rendah dari Pertamina, tapi tetap menjadi operator. Pertamina tidak mau,” tuturnya.
Taslim mengakui jika UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas sekarang ini perlu direvisi agar pengelolaan dan pengawasan masalah kegiatan hulu migas dapat dilakukan secara optimal.
“Karena masalah migas ini kan ada banyak, mulai A – Z, tapi ditangani oleh lembaga sendiri-sendiri. Nah, dalam revisi UU Migas yang baru nanti kami telah mengusulkan agar masalah hulu migas cukup lembaga satu atap yang menangani,” tutur Taslim.
Pria yang sebelumnya pernah digadang-gadang menjadi Menteri ESDM memggantikan Arcandra Tahar itu menegaskan, industri hulu migas sampai sekarang ini masih menjadi daya tarik investasi. Target capaian investasi hulu migas tahun 2022 senilai US$ 13,2 miliar atau setara dengan Rp 206,7 triliun (kurs Rp 15.644 per dolar).
Target investasi tahun ini, tambah Taslim, meningkat USD 10-11 miliar atau kenaikannya lebih dari 20 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sementara target investasi tahun2023, kembali naik menjadi US$ 14 miliar.
Komisi VII DPR RI menilai hengkangnya sejumlah perusahaan migas multinasional dari Indonesia dikarenakan belum adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, komisi dewan yang membidangi masalah energi itu mendesak agar revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas segera diselesaikan pada tahun 2023.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Maman Abdurahman sebelumnya menyampaikan, revisi UU Migas akan dapat memberikan kepastian hukum dan menarik minat investasi hulu migas. Sebab di tengah kondisi seperti ini setiap investor membutuhkan kepastian hukum.
“Segera selesaikan Revisi UU Migas, selambat-lambatnya bulan Juni 2023. Ini sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia,” tegas Maman saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan SKK Migas di ruang rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dijelaskannya penyelesaian revisi undang undang Migas mendesak dilakukan, karena saat ini Investasi di sektor Migas Indonesia mengalami penurunan. Begitupun dengan lifting Migas juga turun.
“Revisi Undang-Undang Migas ini bakal menjadi inisiatif DPR untuk dapat mengakselerasi pembahasan muatan yang termaktub dalam peraturan payung hulu Migas nasional,” tambah Politisi Fraksi Partai Golkar ini.(suko)