Hadirkan Dosen Fakultas Hukum UMG, Kritisi Pasal Kontroversial Dalam KUHP

DISKUSI : Dosen Fakultas Hukum UMG, Muhammad Roqib, saat memaparan sejarah KUHP di Indonesia.

Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari

Bojonegoro – Sejumlah pasal yang dinilai kontroversial dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan mendapat kritik dari elemen Civil Society atau masyarakat sipil.

Kritik itu mengemuka dalam diskusi yang berlangsung di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro, Jalan MH. Thamrin Gang Mawar 44 Bojonegoro, Jawa Timur, Selasa (13/12/2022).

Hadir sebagai pembicara Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Muhammad Roqib, Aktivis Sosial Noura Djoefrie, dan dimoderatori oleh Baharudin Rhomadoni pendiri Jenggala Literasi.

Serta diikuti sejumlah peserta dari berbagai elemen, yaitu mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, Aktivis sosial, pegiat literasi, dan insan pers.

Muhammad Roqib mengawali diskusi dengan pemaparan sejarah KUHP di Indonesia. Dua sistem hukum yang dianut oleh dunia, yakni civil law dan common law, serta latar belakang Rancangan KUHP.

“Sebetulnya ada semangat bagus di KUHP ini, yakni dekolonialisasi, pengakuan hukum adat, misi konsolidasi, dan harmonisasi,” paparnya.

Karena, KUHP (lama) yang mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht itu dikatakan dulunya memberangus seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat hingga hukum pidana agama.

Baca Juga :   10.805 Warga Sekitar ATW Tak Mencoblos

“Nilai-nilai lokal ini tergerus oleh hukum penjajah. Namun sejatinya bukan Belanda yang membuat ini, melainkan kodifikasi dari Napoleon dari sistem hukum romawi kuno,” kata mantan jurnalis ini.

Sementara Noura Djoufrie, mengkritik beberapa pasal, diantaranya Pasal 218 dan 219 tentang penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dia berkata, pemerintah berdalih melakukan pembaruan KUHP, tetapi dalam pasal ini justru bertolak belakang. Karena mengadopsi KUHP Belanda yang melarang pribumi menghina Ratu Belanda.

Jika berbicara modernisasi hukum penghapusan warisan kolonial Belanda, menurut dia, seharusnya itu menjadi bagian dari pembebasan nasional, pencerahan, dan juga peningkatan pendidikan kebangsaan Indonesia.

“Kemudian pada Pasal 240 dan 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. Pasal ini salah satu modus untuk mengkriminalisasi terutama kalangan aktifis dalam gerakan reformasi, mosi tidak percaya, dan anti omnibus law,” imbuhnya.

Salah satu jurnalis anggota AJI Bojonegoro, B. Dani Purwoko menyoroti pasal yang dirasa memberangus kebebasan pers. Dimana bertabrakan atau tumpang tindih dengan UU Pers.

Baca Juga :   AJI Desak Polisi Ungkap Pelaku Pengeroyokan 2 Jurnalis di Bojonegoro

“Seharusnya negara tidak mengebiri kebebasan pers dan kebebasan menyuarakan pendapat sebagai hak asasi manusia,” ujarnya.(fin)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA BANYUURIP

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *