Kecamatan Gayam Harusnya Diprioritaskan

Ketua AKD Kecamatan Gayam, Sukono.

Suarabanyuurip.com – d suko nugroho

Bojonegoro – Desa-desa di wilayah Kecamatan Gayam, merasakan ketidakadilan atas kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur. Wilayah mereka tidak diprioritaskan dalam pembangunan, padahal merupakan lokasi lapangan migas Banyu Urip, Blok Cepu, yang selama ini menjadi tulang punggung APBD Bojonegoro dari dana bagi hasil (DBH) migas.

Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kecamatan Gayam, Sukono mengatakan, sebagai wilayah penghasil migas terbesar di Indonesia, Kecamatan Gayam seharusnya diprioritaskan dalam pembangunan. Khususnya pembangunan infrastruktur yang menjadi kewenangan pemkab yang bisa dibiayai oleh APBD. Seperti saluran air dan tembok penahan tanah di sepanjang jalan kabupaten. Selain itu, pembangunan waduk untuk irigasi pertanian yang memanfaatkan air dari Sungai Bengawan Solo.

” Juga pembangunan gapura pintu masuk Kecamatan Gayam, sampai saat ini belum ada. Saya sudah beberpakali mengusulkan, tapi selalu ditolak. Orang luar yang datang ke sini tidak tahu mana itu wilayah Kecamatan Gayam yang menjadi penghasil minyak terbesar di tanah air,” ujarnya kepada suarabanyuurip di sela-sela menghadiri rapat anggota tahunan (RAT) Koperasi Produsen Agrobisnis (KPA) Makmur Sejahtera Bersama Desa Katur, Kecamatan Gayam, Kamis (16/3/2023).

Selain infrastruktur yang menjadi kewenangan pemkab, lanjut Sukono, pembangunan infrastruktur di desa-desa di wilayah Kecamatan Gayam masih minim. Seperti pembangunan jalan-jalan lingkungan yang menjadi akses utama warga dalam beraktivitas sehari-hari.

“Seharusnya ini bisa dicover melalui CSR Migas. Tapi CSR EMCL sekarang ini tidak diprioritaskan untuk desa-desa di sini. Program CSR-nya dibawa kemana-kemana,” kata pria yang menjabat Kepala Desa Katur ini.

Baca Juga :   Lestarikan Lingkungan, PEPC Zona 12 Tanam Ribuan Bibit Pohon

Sukono menilai, kebijkan Pemkab Bojonegoro mengalihkan program tanggungjawab sosial perusahaan (corparate social responsibility/ CSR) migas yang menjadi hak warga terdampak ke luar wilayah Kecamatan Gayam, tidak memberikan rasa keadilan. Warga sekitar pengeboran telah berkorban menyerahkan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupannya untuk pengembangan Lapangan Banyu Urip.

Selain itu, lanjut dia, warga di desa-desa Kecamatan Gayam juga telah merasakan dampak dari kegiatan ekstraktif di wilayahnya. Seperti dampak lingkungan, ekonomi, sosial budaya, dan ancaman risiko kegagalan industri.

“Ini seharusnya yang menjadi perhatian pemkab. Kalau sampai fasilitas pemrosesan minyak itu meledak, warga di sinilah yang pertama kali merasakan dampaknya. Bukan warga yang ada di Kecamatan Baureno, Sugihwaras, Bubulan atau Temayang,” jelasnya.

Sukono menyatakan tidak mempermasalahkan Pemkab Bojonegoro membagi program CSR ke luar wilayah terdampak lapangan minyak Banyu Urip. Namun, harus memberikan rasa keadilan bagi warga di desa-desa terdampak.

“Nggak masalah dialihkan ke luar desa-desa terdampak. Tapi, wilayah Gayam harus diprioritaskan. Adil itu kan tidak harus menyamaratakan. Untuk tahun 2022 kemarin, desa-desa di sini rata-rata hanya mendapat CSR Rp 150 juta. Apa ini adil ?” tegasnya.

Sukono menambahkan, jika pembangunan infrastruktur di wilayah Kecamatan Gayam bisa tuntas tahun 2023 ini, maka program CSR dan ADD yang diterima desa-desa bisa difokuskan untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) masyarakat. Seperti program pemberian keterampilan, permodalan usaha untuk meningkatkan perekonomian.

Baca Juga :   Tingkatkan Kapasitas Pengusaha Mikro, Sukowati Field Akan Buat UMKM Center

“85 persen masyarakat di sini itu adalah petani. Tapi sebagian dari mereka telah banyak kehilangan lahan pertaian akibat pengembangan migas Banyu urip. Sehingga perlu solusi bagaimana meningkatkan pendapatan mereka dengan terbatasmya lahan yang mereka miliki sekarang,” pungkasnya.

Anggota Komisi B DPRD Bojonegoro, Lasuri menegaskan, program CSR operator migas di Bojonegoro seharusnya menjadi hak warga terdampak. Karena, program itu merupakan bentuk tanggungjawab sosial perusahaan atas dampak-dampak yang ditimbulkan dari kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi migas yang dilaksanakan.

“Sebab yang merasakan dampak langsung itu warga sekitar operasi. Apalagi, di Perda tanggungjawab sosial perusahaan (TJSP), tidak ada klausul CSR itu dibagi dengan komposisi 60 persen untuk warga terdampak dan 40 persen di luar wilayah terdampak. Pembagian ini kan hanya keinginan Bupati saja,” tegas politisi Partai Amanat Nasional (PAN).

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro, Anwar Mukhtadlo sebelumnya menyampaikan, pengalihan CSR ke luar wilayah terdampak sebagai bentuk pemerataan pembangunan. Selain juga untuk menghindari tumpang tindih program yang bersumber dari APBD dan program CSR.(suko)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *