Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Rumah Bersama Disabilitas (RBD) telah berusia satu tahun lebih tiga bulan sejak diluncurkan. Di rumah ini sejumlah kaum difabel dari Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, Jawa Timur, mereka bernaung merajut masa depan.
RBD didirikan oleh para difabel dari berbagai latar belakang pada 2021. Di sana mereka mengembangkan usaha, menyelenggarakan pelatihan, serta berkolaborasi dengan pemerintah dan berbagai lembaga guna membangun kemandirian. Mulai dari ekonomi sampai sosial kemanusiaan.
Program yang didukung oleh operator lapangan minyak Banyu Urip, Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) ini efektif mengembangkan kapasitas para difabel baik di Bojonegoro maupun Tuban. Terbukti, para difabel yang turut bernaung di RBD jumlahnya meningkat. Dari sebelumnya 51 orang, sekarang bertambah menjadi hampir 100 orang.
Puluhan penyandang difabel itu menjalankan usaha bersama utamanya produk tepung olahan singkong (mocaf) dan nasi jagung. Namun selain itu banyak juga produk olahan yang lain. Tak hanya itu, pelatihan merajut juga mereka ikuti untuk mengembangkan kemampuan diri.
“RBD ini adalah sentra UKM (Usaha Kecil dan Menengah) kaum difabel,” kata Muhammad Yasin, pria asal Desa Pilanggede, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, kepada SuaraBanyuurip.com, Jumat (24/03/2023).
Muhammad Yasin, selama ini aktif mendampingi kaum difabel dalam kegiatan mereka. Mantan Ketua Panwaslukab Bojonegoro ini menilai, kaum difabel memiliki potensi yang sama hebatnya dengan kaum akmal atau lengkap. Hanya saja terkadang masih ada yang bersikap diskriminatif terhadap kaum difabel.
“Maka melalui RBD ini, kita buat sebagai rumah besar untuk membangun masa depan,” ujar aktifis bidang pemberdayaan dan organisasi ke-NU-an ini.
Perwakilan EMCL, Al Maliki Ukay Sukaya Subqy menyatakan, bahwa program RBD adalah bagian dari komitmen EMCL dalam memberdayakan kaum disabilitas di Bojonegoro dan Tuban.
Diharapkan RBD akan mampu menjadi pusat produksi dan pemasaran buah karya kaum disabilitas. Termasuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam memandang penyandang disabilitas sebagai sesama manusia yang setara dengan kaum bukan penyandang disabilitas.
“Mereka setara, bahkan banyak yang lebih hebat daripada kita. Nah di RBD ini kita ingin ada kolaborasinya,” harap dia.
Sementara itu, Person In Charge (PIC) Program EMCL, Marsya C. Ariej mengaku lebih suka menggunakan istilah Difabel dibandingkan Disabilitas meskipun diksi itu bukan bahasa yang baku di KBBI. Karena menurut dia, mereka bukan “tidak mampu” atau “terbatas”. Melainkan memiliki perbedaan kemampuan (different ability; difable).
Saat memberikan pelatihan merajut, Marsya bahkan sempat terkejut dengan kemampuan yang diperlihatlan kaum difabel. Program yang digagas oleh EMCL dan didukung oleh SKK Migas sebagai bagian dari PPM (Program Pengembangan Masyarakat) EMCL yang berlandaskan pilar pengembangan ekonomi ini disebut sukses mendapat animo peserta.
“Yang mengejutkan, saat pelatihan dulu itu sama sekali tidak terkendala bahkan untuk penyandang difabel netra. Teman difabel memiliki potensi yang luar biasa. Tidak hanya dalam bidang produksi makanan dan minuman, tapi juga kerajinan tangan,” tandasnya.
“Kami memaknai RBD sebagai tempat berteduh, berlindung, dan saling menguatkan menapak masa depan,” sambung Alifi, Ketua Pengelola RBD.(fin)