KPK Temukan Potensi Korupsi pada Penerimaan Mahasiswa Baru

KPK menemukan adanya potensi korupsi pada penerimaan mahasiswa baru.

Suarabanyuurip.com – d suko nugroho

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan sejumlah potensi korupsi dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB). Berdasarkan kajian yang dilakukan, KPK menemukan adanya ketidakpatuhan perguruan tinggi negeri (PTN) terhadap kuota penerimaan mahasiswa khususnya jalur mandiri.

Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyampaikan, pendidikan sejatinya menjadi ruang untuk mencetak bibit unggul masa depan bangsa. Namun nyatanya ranah pendidikan termasuk salah satu sektor yang kerap menjadi lahan korupsi.

“Oleh karena itu KPK terus mengupayakan pencegahan potensi korupsinya, diantaranya melalui kajian untuk perbaikan tata kelola pendidikan di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Pahala, adanya beberapa kasus korupsi dalam penerimaan mahasiswa baru beberapa tahun terakhir menjadi penanda rentannya tata kelola perguruan tinggi di Indonesia.

“Yang kita ingin lakukan kita bangun tata kelola yang baik kedepannya, kuncinya adalah transparan sehingga kepercayaan publik tinggi dan risiko korupsi bisa kita tekan,” jelasnya dalam pemaparan Kajian Mitigasi Korupsi pada Tata Kelola PMB Tahun 2022 dan 2023, Rabu (17/5/2023) secara daring yang diikuti oleh Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) dan para anggotanya di seluruh Indonesia.

Pahala mengungkapkan, pada September-Desember 2022 KPK melakukan kajian dengan mengambil 7 sampel PTN dari Kemendikbud Ristek RI dan 6 PTN dari Kemenag RI. Kemudian dilakukan pula pendalaman dengan 6 sampel PTN pada bulan Maret 2023. KPK memfokuskan kajian pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2020-2022 dalam program studi S1 Fakultas Kedokteran, Teknik, dan EKonomi.

Dalam hasil kajian ditemukan beberapa permasalahan. Pertama, adanya ketidakpatuhan PTN terhadap kuota penerimaan mahasiswa khususnya jalur mandiri. Kedua, mahasiswa yang diterima pada jalur Mandiri tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh PTN (ranking/kriteria lain).

Ketiga, praktik penentuan kelulusan sentralistik oleh seorang Rektor cenderung tidak akuntabel. Keempat, besarnya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebagai penentu kelulusan.

Kelima, tidak transparan dan akuntabel-nya praktik alokasi “bina lingkungan” dalam penerimaan mahasiswa baru. Keenam, adanya ketidakvalidan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat pengawasan dan dasar pengambilan kebijakan.

“Kami masih menemukan adanya disparitas praktik antar-perguruan tinggi yang kita nilai bahaya. Kita masih menemukan juga rektor penentu tunggal afirmasi,” kata Pahala.

Sebagai upaya pencegahan potensi korupsi menjelang masa Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tahun 2023, lanjut dia, KPK memberikan beberapa rekomendasi tata kelola penerimaan mahasiswa baru. Pertama, mewajibkan PTN untuk meningkatkan transparansi pada seleksi jalur mandiri (jumlah kuota penerimaan, kriteria dan mekanisme penilaian, serta afirmasi diumumkan secara detail sebelum seleksi dilaksanakan).

Kedua, menyatakan bahwa besaran SPI tidak menjadi penentu kelulusan. Besaran SPI diterapkan berbasis kemampuan sosial ekonomi keluarga mahasiswa seperti penerapan UKT.

Ketiga, PTN membangun sistem otomasi dalam penentuan kelulusan PMB (Rektor tidak menjadi penentu tunggal/membangun mekanisme kolektif dalam pengambilan keputusan akhir PMB)

Keempat, Dirjen Dikti memberi sanksi administratif yang lebih tegas bagi PTN yang melanggar ketentuan PMB.

Kelima, memperbaiki akurasi dan validitas data PD-DIKTI baik di tingkat PTN maupun nasional serta mendayagunakannya sebagai alat kontrol dan evaluasi pelaksanaan PMB.

“Harapanya ini dapat membantu pengelolaan PMB yang bersih dan bebas korupsi,” tegas Pahala dalam keterangan tertulisnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam menyampaikan apresiasinya terhadap kajian yang dilakukan oleh KPK. Ia menyampaikan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah memberi akses PT secara inklusif bagi anak bangsa, tidak memandang latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam pelaksanaannya, lanjut Nisam, hanya 28% yang dapat dicover pemerintah. Sehingga perlu gotong royong, melalui subsidi, skema lain seperti UKT, dan jalur mandiri dengan penggalangan dana yang disesuaikan dengan kemampuan orang tua mahasiswa. Hal ini yang nyatanya menjadi permasalahan.

“Mohon dikawal agar proses seleksi masuk perguruan tinggi bisa aman dan baik bagi masyarakat maupun untuk dunia pendidikan,” ujar Nizam.(suko)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *