Jejak Kotor Pejabat Bojonegoro dalam Pembebasan Lahan

MEGAH : Gedung Pemkab Bojonegoro berlantai tujuh di Jalan Mas Tumapel.

Suarabanyuurip.com – d suko nugroho

Bojonegoro – Polemik pembebasan lahan Bendungan Karangnongko di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, terus bergulir. Warga terdampak bendungan di Desa Ngelo, Kecamatan Margomulyo, menolak pembebasan lahan sebelum tuntutan mereka dipenuhi.

Warga Ngelo meminta agar mereka direlokasi menjadi satu tempat yang berada tidak jauh dari lokasi bendungan Karangnongko. Namun, permintaan tersebut sampai sekarang belum mendapatkan solusi dari pemerintah.

Akibatnya warga Ngelo menolak memasang patok tanah dan mengembalikan ke Dinas Sumner Daya Air dan DPRD Bojonegoro. Pengembalian ribuan patok tersebut buntut kemarahan Bupati Anna Mu’awanah kepada warga Ngelo yang meminta relokasi.

Polemik pembebasan lahan untuk kepentingan umum di Kabupaten Bojonegoro sudah berulangkali terjadi. Tercatat, kasus pembebasan lahan terjadi sejak 2004 sampai 2023. Baik pembebasan lahan untuk proyek strategis nasional (PSN) maupun proyek daerah. Bahkan kasus pembebasan lahan ini pernah menyeret mantan Bupati Bojonegoro, almarhum Mohammad Santoso, almarhum Asisten 1 Kamsoeni dan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Bambang Santoso ke meja hijau.

Selain itu kasus pembebasan lahan di Bojonegoro untuk proyek daerah juga pernah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan menjadi bahan penyelidikan Kejaksaan Negeri Bojonegoro.

Siapa saja terlibat pembebasan lahan untuk kepentingan umum di Kabupaten Bojonegoro mulai tahun 2004 sampai dengan 2023 ????

1. Korupsi Pembebasan Lahan Blok Cepu

Kasus korupsi pembebasan lahan Blok Cepu melibatkan mantan Bupati Bojonegoro, (alm) HM Santoso, Sekretaris Daerah Bambang Santoso, dan Asisten I (Alm) Kamsoeni. Kasus ini mencuat pada 2018 setelah HM Santoso lengser dari jabatannya sebagai Bupati Bojonegoro.

Kasus yang menghebohkan ini juga mencatut nama mantan Wakil Bupati Bojonegoro, (alm) M Thalhah, jajaran Forkompimda, dan semua kepala organisasi perangkat daerah (OPD). Mereka ditengarai menerim aliran dana sosialisasi pembebesan lahan Blok Cepu, karena masuk dalam Tim Koordinasi Pengendalian dan Pembebasan Lahan (TKP2L) Blok Cepu.

Namun, dalam kasus ini hanya tiga orang yang ditahan. Mereka adalah HM. Santoso, Bambang Santoso dan Kamsoeni. Ketiganya bertanggungjawab atas korupsi anggaran pembebasan lahan pada medio 2006 – 2007 sebesar Rp3,8 miliar yang diberikan Mobil Cepu Limited (MCL) dari 10,8 miliar yang diajukan.

Anggaran pembebasan lahan Blok Cepu seharusnya masuk rekening APBD. Namun faktanya, masuk di rekening TKP2L dan dibuat bancakan.

Dalam kasus pembebasan Blok Cepu, HM Santoso divonis 6 tahun penjara pada 2014. Kemudian, Bambang Santoso divonis 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Bojonegoro, dan Kamsoeni diganjar 4 tahun penjara dalam putusan kasasi Makamah Agung.

2. Pengadaan lahan Tempat Penampungan Akhir Sampah

Pengadaan lahan ini dilakukan pada 2014. Anggaran yang digelontorkan Pemkab Bojonegoro mencapai Rp 3,5 miliar. Kasus ini muncul pada 2015 ketika enam warga ahli waris menerima uang ganti untung tidak sesuai kesepakatan.

Keenam warga adalah Kasti/Anto, asal Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, luas lahan 6.700 M2 dengan harga satuan Rp95.000, jumlah uang yang ditransfer Rp587.850.000; Lasmi, asal Desa Palem, Kecamatan Purwosari luas lahan 6.050 M2, dengan harga satuan Rp90.000, jumlah uang yang ditransfer Rp505.050.000; Lasmi/Marwak, asal Desa Palem, Kecamatan Purwosari, luas lahan 2.500 M2, dengan harga satuan Rp90.000, jumlah uang yang ditransfer Rp213.750.000.

Selain itu juga Parmi, asal Desa Ngrejeng, Â Kecamatan Purwosari, luas lahan 3.100 M2, dengan harga satuan Rp90.000, jumlah uang yang ditransfer Rp265.050.000; Â Parmi, asal Desa Ngrejeng, Kecamatan Purwosari, luas lahan 3.000 M2, dengan harga satuan Rp90.000, jumlah uang yang ditransfer Rp256.500.000; Supini, asal Desa Ngrejeng, Kecamatan Purwosari, luas lahan 11.600 M2, dengan harga satuan Rp90.000, jumlah uang yang ditransfer Rp954.600.000;Â dan Jayus, asal Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, luas lahan 5.750 M2, dengan harga satuan Rp95.000, jumlah uang yang ditransfer Rp506.625.000.

Kasus pengadaan lahan TPA Bandungrejo ini menjadi temuan BPK, dan diitengarai melibatkan pejabat penyelenggara negara mulai tingkat desa, kecamatan, hingga pejabat teras Pemkab Bojonegoro.

3.Pengadaan Tanah Rumah Sakit Tipe D

Pemkab Bojonegoro melakukan pengadaan lahan rumah sakit Tipe D Temayang atau rumah sakit wilayah selatan seluas seluas 2,35 hektar pada 2017. Total anggaran yang dikucurkan mencapai Rp 13 miliar bersumber dari APBD.

Namun pengadaan lahan rumah sakit ini menjadi temuan BPK. Hasil audit BPK ditemukan adanya markup yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,46 miliar.

Kasus pengadaan lahan rumah sakit tipe D ditengarai melibatkan aparat penyelenggara negara tingkat desa, kecamatan, pejabat teras Pemkab dan beberapa anggota DPRD Bojonegoro.

Kasus ini tidak sampai ke aparat penegak hukum karena kerugian negara Rp 1,46 yang menjadi kelebihan pembayaran telah dikembalikan. BPK saat itu memberikan deadline 60 hari.

4. Pengadaan Tanah untuk Wisata Religi

Pengadaan tanah wisata religi di Kecamatan Margomulyo mencapai Rp 15 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Bojonegoro Tahun 2020.

Namun, pengadaan lahan wisata religi yang menghabiskan anggaran Rp120 miliar ini sarat korupsi. Potensi korupsi itu terjadi karena penentuan apraisal tanah yang tinggi tidak dilengkapi dokumen Master Plan wilayah yang dikuatkan dengan dokumen RTRW dan RDTRK yang menetapkan wilayah yang dibebaskan dengan status wilayah khusus melalui Peraturan Kepala Daerah.

Hal itu bisa menimbulkan gejolak dan disparitas yang mencolok dalam hal penentuan nilai jual obyek pajak pada tanah-tanah disekitarnya. Sehingga tidak masuk akal Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang hanya berjarak beberapa meter dari lokasi proyek wisa riligi harganya tidak melebihi Rp 50 000, 00 sampai dengan Rp 75 000 per M2, tetapi disamping dan sekitarnya berharga diatas Rp 300 000.

Artinya terdapat selisih harga tanah yang tinggi antara tanah tanah RTH wisata religi dengan NJOP di sekitarnya. Hal ini terjadi karena metode pengadaan tanah untuk kepentingan umum diduga tidak dilaksanakan sebagaiamana peraturan perundangan yang ada. Sehingga dapat berpotensi menimbulkan kerugian keuangan daerah/negara.

Dugaan korupsi pengadaan lahan proyek wisata religi ini telah dicium oleh Kejaksaan Negeri Bojonegoro. Kejari dikabarkan telah mengelurkan surat perintah penyidikan (Sprindik).(data litbang suarabanyuurip)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *