SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur, yang melibatkan pemerintah desa (pemdes) untuk membantu melakukan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menimbulkan kericuhan.
Ini disebabkan karena pemdes dikenai sanksi berupa tidak dicairkannya Alokasi Dana Desa (ADD) jika tidak lunas PBB-P2. Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kabupaten Bojonegoro memprotes kebijakan yang dinilai tidak masuk akal tersebut dengan menyuarakannya di hadapan wakil rakyat setempat, Jumat (18/08/2023) kemarin.
“Jika masih terjadi ada kawan-kawan pemdes membantu pungut PBB tapi malah diberi sanksi, kami minta sebaiknya Bapenda memungut PBB sendiri kepada wajib pajak,” kata Ketua Bidang Advokasi Hukum dan HAM AKD Bojonegoro, Anam Warsito saat hearing dengan DPRD Bojonegoro.
Dia menjelaskan, bahwa memungut PBB-P2 bukan tugas pemdes. Adapun ketika hal itu dilakukan oleh pemdes, hanyalah bentuk pemdes memberikan bantuan atas tugas Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bojonegoro.
“Kita ini membantu, tapi malah kena sanksi, masuk akal ndak ini?” ujar pria yang menjabat Kades Wotan itu mempertanyakan.

Wakil Ketua I DPRD Bojonegoro, Sukur Priyanto (paling kiri) dan Ketua DPRD Bojonegoro, Abdulloh Umar (dua dari kiri) ketika hearing dengan AKD.
Sulitnya menagih wajib pajak yang berada di luar desa dan tidak dapat diketahui keberadaannya secara pasti, dia sebut menjadi kendala pada pemungutan PBB-P2. Sehingga misalnya target pajak sebesar Rp600 juta hanya kurang Rp24 juta dikarenakan kendala disebut lantas membuat ADD tidak dicairkan, menurut Anam hal itu merupakan kebijakan yang tidak masuk akal.
“Oleh sebab itu, kami meminta agar Pemkab Bojonegoro meniadakan aturan pelunasan pungutan PBB-P2 dikaitkan dengan pencairan ADD,” tegasnya.
Sementara Ketua AKD Kabupaten Bojonegoro, Kanjeng Raden Aryo Tumenggung (K.R.A.T.) Sudawam menegaskan, bahwa Pemkab Bojonegoro tidak boleh menahan atau tidak mencairkan ADD tahap II dengan alasan tidak lunas PBB-P2.
“Kami tegaskan, pemdes kapasitasnya dalam pemungutan PBB-P2 ini hanyalah membantu tugas pemkab. Sehingga kami tidak bisa menerima alasan, jika suatu desa tidak bisa melunasi PBB-P2 maka tidak bisa mencairkan ADD tahap II. (Aturan) Itu harus dihapus,” ungkapnya dalam wawancara cegat kepada SuaraBanyuurip.com.
Karena kegaduhan tersebut selalu berulang setiap tahun, melalui dengar pendapat dengan anggota dewan, Sudawam berharap sejak tahun ini hingga di masa mendatang tidak lagi terjadi ADD tidak cair karena terganjal syarat lunas PBB-P2.
“Apabila Pemkab Bojonegoro tidak merealisasikan pencairan ADD, maka kami akan datang lebih banyak lagi,” tandas pria yang menjabat Kades Pelem, Kecamatan Purwosari.

Aspirasi AKD perihal tertahannya ADD tahap II tersebut mendapat dukungan dari Wakil Ketua I DPRD Bojonegoro, Sukur Priyanto. Bahkan dia mendorong agar para kades tidak perlu malu-malu menyampaikan segala permasalahannya.
“Sebetulnya Bojonegoro ini memang banyak masalah. Tapi sayang kadesnya masih isin (malu-malu) mau menyampaikan. Gak apa apa, wong bupatinya karek patang puluh dino (tinggal 40 hari menjabat),” ujar Politikus Partai Demokrat itu.
Begitu pula Anggota Komisi B dari Fraksi Golkar, Sigit Kushariyanto, turut memberikan tanggapan. Berkaitan adanya kesulitan penagihan terhadap wajib pajak, menurut mantan Kades Ngraseh ini, pemdes mestinya memang bukan petugas pemungut pajak.
“Kalau melihat Undang-Undang (UU) Perpajakan dan pada UU nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memungut PBB itu memang bukan tugas penjenengan (anda/para kades),” beber Sigit.
Sedangkan Ketua DPRD Kabupaten Bojonegoro, Abdulloh Umar menyatakan, telah menampung hal tersebut. Meski begitu pihaknya bakal melakukan perhitungan terlebih dahulu secara bersama-sama, khususnya mengenai besaran DBH Migas.
“Tentunya nanti kami akan mengkomunikasikan semua tuntutan AKD saat rapat pembahasan KUA PPAS (Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara) agar dapat direalisaikan,” tutur polikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).(fin)