SuaraBanyuurip.com – Joko Kuncoro
Bojonegoro – Angka kemiskinan ekstrem di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur tahun 2022 sebesar 1,78 persen atau sebanyak 22,34 ribu jiwa. Kemiskinan ekstrem ini, disebabkan tidak mampunya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro Kiki Ferdiana mengatakan, Kabupaten Bojonegoro menduduki peringkat 13 se-Jawa Timur untuk jumlah penduduk miskin ekstrem yakni sebanyak 22,34 ribu jiwa pada 2022.
“Persentasenya 1,78 persen se-Jawa Timur atau peringkat ke 11,” katanya, Rabu (15/11/2023).
Kiki menjelaskan, jumlah kemiskinan ekstrem di Bojonegoro tahun 2022 sebanyak 22,34 ribu ini menurun apabila dibandingkan pada 2021 lalu sebabyak 36,14 ribu jiwa atau yakni 2,88 persen.
“Penyebab masih banyaknya masyarakat berkategori miskin ekstrem karena rendahnya tingkat ekonomi,” tegasnya.
Selain itu, masyarakat tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (GK) ekstrem. Dia mengatakan, GK ekstrem ini menggunakan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) sebesar US$ 1,9 per hari.
“Atau jika dirupiahkan sebesar Rp 348.996 per kapita per bulannya,” kata Kiki kepada suarabanyuurip.com.
Kiki menambahkan, penduduk miskin ekstrem adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK ekstrem yang angkanya 1,78 persen untuk Bojonegoro. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi Kabupaten Bojonegoro yang harus punya solusi menurunkan kemiskinan ekstrem.
“Yakni dengan menciptakan lapangan pekerjaan, pengelolaan distribusi barang hingga mendukung UMKM lokal,” sarannya.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro, Sigit Kusharyanto mengatakan, APBD 2023 yang mencapai Rp 7,4 triliun harusnya juga digunakan untuk mengentaskan kemiskinan di Bojonegoro. Sehingga, Kabupaten Bojonegoro tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur.
“APBD yang besar harusnya digunakan untuk pembangunan di segala sektor, salah satunya memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing. Sehingga APBD bisa produktif,” katanya.
Sigit menjelaskan kearifan lokal yang dimaksud seperti meningkatkan produksi pertanian yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Misalnya di Kecamatan Sekar dan Gondang memiliki hasil bawang yang melimpah, itu harusnya didukung oleh APBD.
“Jadi, APBD berbasis kearifan lokal itu pasti meningkatkan ekonomi masyarakat, termasuk UMKM,” katanya.(jk)