SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi Cepu (PEPC) Zona 12 menggelar dua kegiatan studi tiru kepada para petani penggarap lahan hutan sekitar wilayah operasi Gas Processing Facility Jambaran Tiung Biru (GPF – JTB), Sabtu (09/12/2023).
Agenda yang diikuti oleh sekira 30 petani hutan asal Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur ini merupakan bagian dari sasaran Program Pengembangan Masyarakat (PPM) Gerakan Masyarakat Tanggap Api (Gemati) yang diinisiasi oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT Pertamina EP Cepu Zona 12.
Dalam studi tiru jadwal pertama yang dihelat di Balai Desa Cancung, Kecamatan Bubulan, Ketua Koperasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) “Sahabat Tani” Biyantoro sebagai narasumber dan dipandu oleh Sekretaris Dewan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Bojonegoro, Achmad Danial Abidin.

Koperasi ini terpilih untuk dipelajari dan ditiru sebab anggotanya dianggap memiliki kesamaan latar belakang dengan petani penggarap lahan hutan dari Desa Bandungrejo.
Lagipula, sebagaimana dipaparkan oleh Biyantoro, Koperasi LMDH Sahabat Tani mempunyai catatan prestasi dan perjalanan yang cukup panjang sejak berdiri pada 2008 hingga 2023.
Padahal pada awalnya, anggota Koperasi Sahabat Tani hanya berjumlah 20 orang, namun mampu meraih juara 3 dan penghargaan dalam rangka peringatan hari koperasi 2016 untuk koperasi berprestasi berbasis kemasyarakatan.
Selain itu Sahabat Tani pernah meraih pula juara 1 dan mendapat penghargaan dari Perum Perhutani sebagai kelompok masyarakat penggerak ekonomi kerakyatan kawasan hutan pada 2023.
“Anggota kami per 2022 berkembang menjadi 106 orang, membukukan pendapatan sebesar Rp159,8 juta, dan aset total Rp620,2 juta,” beber Ketua Koperasi LMDH Sahabat Tani, Biyantoro.

Tentu tak hanya kesuksesan saja yang disampaikan oleh pria yang akrab disapa Pak Wo ini, melainkan dia ungkapkan pula berbagai kendala di awal syarat pendirian sampai mampu ber-Badan Hukum resmi sebagai legalitasnya.
“Kendala yang paling sulit itu mempersatukan tekad anggota, kami dulu langsung mengikuti pelatihan dan melihat langsung cara mengelola koperasi, sehingga anggota akhirnya memiliki niatan bulat,” paparnya.
Sementara itu, Sekretaris Dekopinda Bojonegoro, Achmad Danial Abidin menambahkan, jika para petani nantinya sepakat mendirikan koperasi, tidak disarankan untuk membuka jenis usaha simpan pinjam, tetapi pada usaha lain yang produktif.
Menurut Didin, sapaan akrabnya, koperasi itu kuncinya ada pada anggota, begitu pula syarat pendiriannya, orangnya terlebih dulu harus ada dan memiliki kepentingan yang sama atas usaha yang akan dijalankan. Ini berbeda dengan perusahaan yang merupakan kumpulan modal.
“Karena koperasi adalah kumpulan orang, bukan kumpulan modal, setelah minimal 20 orang anggota terkumpul sesuai ketentuan, baru diadakan rapat anggota perihal permodalannya, besarannya tergantung kesepakatan berdasar kemampuan anggota,” tambah Didin.
Kemudian pada jadwal studi tiru yang ke dua, berlanjut pada pelatihan ihwal peningkatan hasil pertanian berbasis kelestarian ekologi lingkungan di Kelompok “Tani Mulyo” Desa Bakalan, Kecamatan Kapas.
Studi ini melibatkan narasumber sebagai pemateri dari Ketua Pusat Pelayanan Agens Hayati (PPAH) A’al Desa Bakulan, Kecamatan Kapas, Ahmad Ropingi yang sekaligus menjabat ketua salah satu kelompok tani setempat.
Ahmad Ropingi didaulat memaparkan perihal teknik pertanian organik sebagai pertanian yang ramah lingkungan. Mengingat para petani sebelumnya telah mendapat pelatihan pembuatan dekomposer. Di mana bermanfaat mengurai bahan bahan organik sehingga keluar nutrisinya yang berguna untuk tanaman.
“Untuk luasan 1 hektar, dengan komposisi 50:50 penggunaan bahan organik berbanding kimia mampu mengurangi ongkos produksi pada pupuk kimianya sampai 75 persen, dan paling tidak mampu panen padi minimal 6-7 ton,” terangnya kepada SuaraBanyuurip.com di sela-sela studi lapangan pada lahan sawah konversi organik.
Sedangkan Manager Program dari Alas Institute, Anggara Putra menjelaskan, dua agenda studi tiru ini masing-masing memiliki manfaat yang saling berkaitan dan kesamaan tujuan untuk kemandirian para petani penggarap lahan hutan.
Selain menyasar para petani hutan agar mampu membuat pupuk organik dan melepas ketergantungan dari pupuk kimia, diharapkan pula mampu mandiri secara ekonomi dengan membentuk koperasi.
“Koperasi bisa berfungsi sebagai wadah produktif yang mengikat dan berguna meningkatkan kesejahteraan anggota,” jelas Anggara.(fin)