Punya Potensi CO2 577,62 Giga Ton, Indonesia Buka Peluang Bisnis Baru Bagi Pelaku Usaha Hulu Migas

Salah satu lapangan migas yang dikelola Pertamina telah menerapkan teknologi tangkap karbon.

SuaraBanyuurip.com – Indonesia memiliki potensi penyimpanan sumber CO2 sebesar 577,62 Giga Ton. Potensi ini menjadi peluang bisnis bagi pelaku usaha hulu migas untuk mengembangkan proyek Carbon Capture Storage (CCS).

Perushaan multinasional yang tertarik mengembangkan proyek CCS adalah ExxonMobil. Perusahaan asal Amerika Serikat ini telah menandatangani kerja sama dengan Pertamina Hulu Energi untuk pengembangan hub CCS/CCUS regional di wilayah kerja PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE OSES) dengan potensi untuk menyimpan CO2 domestik dan internasional melalui Asri Basin Project CCS Hub yang berada di Wilayah Kerja PHE OSES.

Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Noor Arifin Muhammad bahwa Indonesia memiliki potensi penyimpanan sumber CO2 sebesar 577,62 Giga Ton yang terdiri atas Depleted Oil & Gas sebesar 4,85 Giga Ton dan Saline Aquifer 572,77 Giga Ton. Bahkan saat ini Indonesia juga telah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar di wilayah Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream pada tahun 2030.

PoD atau Plan of Development Proyek CCS/CCUS yang telah disetujui seperti Tangguh EGR/CCUS, Abadi dan Sakakemang. Totalnya ada 15 proyek CCS/CCUS tahap studi/persiapan.

“Sebagian besar wilayah ditargetkan untuk beroperasi pada tahun 2030 atau setelahnya”, jelas Noor pada diskusi Plenary Session 48th Indonesia Petroleum Association, Rabu (15/5).

Dihadapan para Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap (BU/BUT), Noor menegaskan pengakuan akan potensi Indonesia sebagai tempat penyimpanan karbon yang ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024. Kebijakan tersebut diarahkan untuk mendukung pengurangan emisi dari berbagai sektor. Peraturan tersebut juga mengamanatkan Perjanjian Bilateral (Bilateral Agreement) untuk melakukan Karbon lintas batas Angkutan.

“Kami membutuhkan perjanjian bilateral dari Pemerintahan ke Pemerintahan (G to G), kemudian bisnis (B to B) akan dibuat menjadi perjanjian. Ini adalah pekerjaan rumah untuk Indonesia, bukan hanya pemerintah, termasuk pelaku industri dan akademisi,” imbuh Noor.

Noor menjelaskan bahwa Perjanjian Bilateral tersebut diperlukan sebagai Pedoman bagi semua pihak untuk mengeluarkan rekomendasi atau izin lintas batas negara Transportasi Karbon (Cross-Border Carbon Transportation) di bawah ketentuannya masing-masing negara.

Pemerintah Indonesia, lanjut dia, terus berusaha melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan pengelolaan CCS. Pada awalnya, Pemerintah memiliki Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2023 tentang CCS/CCUS di wilayah kerja migas. Dimana pengelolaan CCS/CCUS terbatas dalam wilayah kerja migas, dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama MIgas berdasarkan mekanisme bisnis Hulu Migas, serta terbuka untuk sumber CO2 dari luar hulu Migas (untuk CCUS). Kemudian dalam perkembangannya terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 dengan cakupan pengelolan CCS yang lebih luas.

“Mengaktifkan CCS di luar Wilayah Kerja Migas, Peluang Investasi melalui 2 skema seperti Kontrak Kerja Sama di Wilayah Kerja Migas atau Izin Eksplorasi dan Operasi Penyimpanan untuk CCS di Wilayah Izin Penyimpanan Karbon, dan Mengaktifkan CCS Lintas Batas,” jelasnya.

Menurut dia, dukungan Pemerintah Indonesia melalui kerangka peraturan dan kebijakan yang komprehensif untuk proyek CCS juga membawa dampak yang cukup besar dalam peningkatan skor Indonesia pada Legal and Regulatory Indicator menurut Global CCS Institute tahun 2023. Ke depan, Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2024 tersebut perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana.

“Juga ada turunan peraturan pelaksana dari Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 antara lain penyusunan rancangan peraturan Menteri. Selain itu, juga perlu koordinasi antar Kementerian mengenai proses perizinan tersebut dan kebijakan yang mendukung.”

Sebagai Implementasi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024, setidaknya terdapat 7 point yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana. Pertama, terkait Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pelaksanaan lzin Eksplorasi (Pasal 18 ayat 4). Kedua, ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan saham Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap pemegang Izin Eksplorasi (Pasal 19 ayat 3).

Ketiga, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan Plan for Development and Operations (Pasal 21 ayat 2). Keempat, ketentuan mengenai tata cara permohonan, persyaratan, dan evaluasi perpanjangan jangka waktu lzin Operasi Penyimpanan (Pasal 25 ayat 4).

Kelima, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pelaksanaan lzin Operasi Penyimpanan (Pasal 36 ayat 4). Keenam, ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan saham Badan Usaha pemegang lzin Operasi Penyimpanan (Pasal 27 ayat 2). Ketujuh, ketentuan lebih lanjut mengenai besaran imbal jasa penyimpanan (storage fee) (Pasal 42 ayat 6).

“Rencana ke depan untuk CCS Hub selain menyusun peraturan pelaksana, juga Koordinasi antar Kementerian mengenai proses perizinan dan kebijakan yang mendukung,” pungkas Noor.(red)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *