SuaraBanyuurip.com – Joko Kuncoro
Bojonegoro – Gerakan panen hujan disebut bisa menjadi solusi untuk mengatasi krisis air bersih selama musim kemarau di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Apalagi kabupaten penghasil migas setiap tahun menjadi langganan kekeringan.
Caranya, air hujan ditampung untuk dimasak, dan sisanya kemudian diresapkan ke tanah bisa menambah sumber air.
“Air yang ditampung di tandon air setelah direbus bisa dikonsumsi, sisanya diresapkan ke dalam tanah,” kata Inisiator Panen Air Hujan Bojonegoro, Aziz Ghozali.
Aziz mengatakan, sejumlah wilayah Bojonegoro setiap tahun menjadi langganan kekeringan. Berdasar data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro September 2024 lalu, 92 desa di 23 kecamatan di Bojonegoro mengalami krisis air bersih.
“Kondisi itu berdampak kepada 41.000 jiwa di Bojonegoro,” katanya, Senin (13/1/2025).
Sehingga, panen hujan ini harus dikampanyekan kepada masyarakat Bojonegoro terutama wilayah langganan kekeringan. Aziz mengungkapkan setelah program panen air hujan tercetus, kemudian bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang kebetulan memiliki alat pemanen air hujan.
“Kami kolaborasi dengan UGM, yakni untuk mengetahui cara memanfaatkan air hujan. Sehingga kekeringan di Bojonegoro bisa diatasi,” kata Kepala Desa Kacangan tersebut.
Menurut Aziz, sebelum ada inisiasi panen hujan, sejumlah desa membuat embung dan sumber air untuk mengatasi kekeringan. Namun cara tersebut belum maksimal dan panen air hujan ternyata bisa menjadi solusi dengan menampung di tandon air.
“Dalam proyek percontohan kami memakai tandon air berkapasitas 1.050 liter,” katanya.
Tandon air selain berfungsi menyaring debu hingga kotoran dari air hujan juga untuk menyimpan air hujan yang nantinya bisa diolah dijadikan air minum. Sisanya bisa diresapkan ke dalam tanah untuk menambah volume air.
Tercatat proyek percontohan panen air hujan dilakukan di sejumlah desa di Bojonegoro. Diantaranya berlokasi di Ademos 1 paket instalasi penampungan air hujan (IPAH), SMPN 2 Purwosari 2 paket IPAH, Masjid Miftahul Huda Desa Bakalan, Kecamatan Tambakrejo 3 paket IPAH, Yayasan Pendidikan Islam Wasilatul Huda Desa Dukoh Kidul Kecamatan Ngasem 2 paket IPAH, Desa Jatimulyo, Kecamatan Tambakrejo 10 paket IPAH, Desa Nganti Kecamatan Ngraho 10 paket IPAH, dan Pondok Rahmatullah Desa Tulungagung, Kecamatan Baureno 2 paket IPAH.
“Total ada 30 instalasi penampungan air hujan yang tersebar di sejumlah wilayah Bojonegoro,” katanya.
Aziz menambahkan, apabila proyek percontohan panen hujan berhasil, diharapkan masyarakat bisa meniru untuk membuat penampungan air hujan. Sebab panen hujan bisa menjadi solusi untuk mengatasi krisis air bersih selama kemarau.
“Misalnya saat kemarau biasanya sudah kering duluan, dengan menggunakan metode ini kekeringan bisa diminimalisir. Yang sebelumnya 4 bulan sumber air tidak keluar bisa menjadi satu bulan kekeringan karena memiliki resapan air hujan itu,” katanya.
Sebelumnya Ademos dan Yayasan Mannah Indonesia bekerja sama dengan Sekolah Vokasi UGM menawarkan solusi melalui gerakan panen air hujan sebagai sumber air bersih yang sehat dan berkelanjutan. Yakni yang bertujuan untuk mengantisipasi krisis air bersih.
Menurut Ketua Ademos Ahmad Shodiqurrosyad, strategi ini sangat mungkin dilakukan di Bojonegoro, mengingat curah hujan tahunan rata-rata 2.000 hingga 3.000 mm. Panen air hujan ini hanya membutuhkan infrastruktur sederhana seperti talang air, tangki penampungan, dan sistem filtrasi air hujan.
“Gerakan panen air hujan ini, didorong untuk mengurangi dampak kekeringan di Bojonegoro secara berkelanjutan karena memberikan solusi konkret untuk masyarakat lokal,” katanya.(jk)