Oleh : H. Abdul Wahid Azar,SH.,MH.,
KABUPATEN Bojonegoro dikenal sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia karena cadangan minyak dan gas buminya. APBD-nya tahun 2024 mencapai Rp 8,2 triliun. Namun, siapa sangka kekayaan itu menyimpan banyak ironi? Dengan potensi anggaran yang besar, kenyataannya masih banyak permasalahan dasar masyarakat yang belum teratasi. Mulai masalah kesehatan, pendidikan, krisis air bersih setiap musim kemarau, pengangguran, lingkungan hingga kesejahteraan.
Sejak beberapa tahun terakhir, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Bojonegoro terus menggunung hingga lebih dari Rp 2 triliun setiap tahun. Ini bukan angka kecil, tetapi justru menjadi simbol dari tata kelola anggaran yang tidak optimal.
Angka Kemiskinan Masih Tinggi
Data terbaru menunjukkan bahwa 147.330 jiwa atau sekitar 14 persen dari total penduduk Bojonegoro masih hidup di bawah garis kemiskinan (suarabanyuurip.com, 2025). Hal ini mencerminkan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan belum efektif.
Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro, Ahmad Supriyanto, bahkan menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas program-program yang sudah dijalankan. “Jika anggaran sebesar itu tidak bisa menurunkan angka kemiskinan, ini adalah persoalan serius yang harus segera diselesaikan.
Tingginya Angka Pengangguran
Tingkat pengangguran di Bojonegoro juga menjadi masalah yang tak kalah serius. Pada tahun 2024, tercatat sebanyak 34.785 orang atau sekitar 5 persen dari angkatan kerja masih menganggur (suarabanyuurip.com, 2025).
DPRD Bojonegoro menilai bahwa bursa kerja yang ada belum maksimal dalam mengurangi angka pengangguran. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah untuk menciptakan peluang kerja baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Masalah Stunting dan Lambatnya Eksekusi Anggaran
Masalah stunting masih menjadi tantangan di beberapa wilayah. Padahal, anggaran untuk sektor kesehatan sudah tersedia. Sayangnya, eksekusi program sering kali lambat karena birokrasi yang berbelit-belit. Kondisi ini jelas membutuhkan perhatian serius dari Bupati baru. Tercatat, jumlah balita stunting di Kabupaten Bojonegoro pada April 2024 sebanyak 1.387 anak.
Belajar dari Kabupaten Bekasi, Solusi TP2D
Namun, tidak semua cerita buruk harus terus berlanjut. Kabupaten Bekasi pernah menghadapi masalah serupa tetapi berhasil mengatasinya dengan membentuk Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D).
Dasar hukum pembentukan TP2D adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. TP2D ini beranggotakan tenaga ahli yang independen dan tidak tergabung dalam perangkat daerah. Hasilnya, Bekasi mampu mempercepat berbagai proyek infrastruktur sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Kabupaten Bojonegoro bisa belajar dari Bekasi. Dengan membentuk TP2D, anggaran yang selama ini menjadi “uang tidur” dapat diubah menjadi solusi nyata menyelesaikan persolan yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya itu, perencanaan program juga perlu melibatkan masyarakat setempat agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Harapan untuk Bupati Baru
Bupati Bojonegoro baru memiliki tantangan besar untuk memanfaatkan potensi besar Bojonegoro demi menjawab masalah yang sudah lama membelit. Dengan tata kelola yang lebih baik, Kabupaten Bojonegoro tidak hanya akan dikenal sebagai daerah kaya migas, tetapi juga sebagai daerah dengan pembangunan yang merata dan masyarakat yang sejahtera. Kini saatnya membuktikan bahwa anggaran besar benar-benar untuk rakyat.
Penulis adalah Relawan Stunting Indonesia