SuaraBanyuurip.com – Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur mengalami kekeringan hingga krisis air bersih setiap tahun. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memprediksi ada 106 desa yang akan terdampak kekeringan pada 2025 ini. Kondisi ini diperparah dengan laporan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat, pada 2024 telah terjadi penurunan cadangan air tanah hingga 40% dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, di tengah tantangan yang ada, Bojonegoro memiliki potensi besar dalam pemanfaatan sumber daya air. Bojonegoro memiliki 433 embung dan 45 waduk untuk menampung air hujan yang tersebar di berbagai wilayah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Bupati Bojonegoro Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah telah meluncurkan program unggulan berupa pembangunan instalansi perangkat panen air hujan. Instalansi perangakat panen air hujan ini telah dibangun di 30 titik sebelum keduanya dilantik menjadi kepala daerah pada Kamis, 20 Februari 2025 kemarin. Program ini akan diperluas ke desa-desa rawan kekeringan di titik-titik prioritas.
Teknologi inovatif tersebut diadopsi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Hasilnya sejauh ini cukup bagus dan sedang diupayakan untuk dapat diproses menjadi air minum sehat.
“Kami optimis dengan langkah nyata seperti ini, secara bertahap Bojonegoro Insya Allah bisa keluar dari masalah kekeringan,” kata Bupati Setyo Wahono.
Selain membangun instalansi perangkat panen air hujan, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sekarang ini juga sedang melakukan pemetaan dan penyaluran sumber air sungai bawah tanah dan air permukaan.

Bupati Wahono dan Wakil Bupati Nurul telah berdialog dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen SDA Kemen PU) terkait strategi percepatan pencarian serta penyaluran sumber air baru. Berdasarkan kajian yang dilakukan keduanya bersama Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), penggunaan teknologi deteksi air geo magnetotelurik akan dapat membantu pemetaan berbagai sumber air sungai bawah tanah. Nantinya air tersebut akan disalurkan secara lebih efektif kepada masyarakat.
Dengan dukungan dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) TNI Angkatan Darat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro telah berhasil menemukan 6 sumber air bawah tanah baru, serta telah berhasil dilakukan pengeboran dan airnya sudah mulai dialirkan ke masyarakat.
Keenam sumber air potensial di beberapa titik di Bojonegoro, diantaranya di Desa Banjaran di Kecamatan Baureno, Desa Ngantru di Kecamatan Ngasem, dan Desa Bakalan di Kecamatan Tambakrejo. Ke depannya, inisiatif ini akan diperluas ke wilayah-wilayah lainnya.
“Kita akan terus mencari sumber-sumber air lain dan mencoba untuk melakukan pengeboran. Ini adalah langkah nyata, karena Bojonegoro yang sejahtera dimulai dari kebutuhan dasar, seperti ketersediaan air,” tutur Bupati asli Bojonegoro dari Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo ini.
Selain itu, Pemkab Bojonegoro juga berkolaborasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo serta Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam upaya pengembangan dan pengelolaan irigasi persawahan, serta penyulingan air minum berbasis sumber air permukaan. Beberapa lokasi yang menjadi prioritas dalam inisiatif ini meliputi Bengawan Solo, Sendang Jonoporo, Sendang Krondonan, serta Waduk Gongseng.
Bupati Wahono berharap kolaborasi, sinergi dan inovasi yang dilakukan ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi ketersediaan air di Kabupaten Bojonegoro, baik dalam mendukung kebutuhan domestik, pertanian, maupun industri lokal.
“Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya air demi kesejahteraan masyarakat menuju Bojonegoro makmur dan membanggakan,” tegas adik Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pratikno ini.
Upaya Pemkab Bojonegoro mengatasi krisis air bersih juga mendapat dukungan dari Universitas Bojonegoro (Unigoro). Perguruan tinggi di bawah naungan Yayasan Suyitno ini telah memdistribusikan 25 unit alat instalansi pemanen air hujan (IPAH) di Kecamatan Kedungadem, Sumberjo, dan Gondang sebagai mitigasi bencana kekerangan.
“Pemilihan lokasi distribusi alat karena daerah tersebut pernah mengalami bencana kekeringan. Rumah tangga penerima manfaat juga berdasarkan damisda (data mandiri masyarakat miskin daerah),” jelas Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unigoro, Laily Agustina R.(red)