Muncul Fenomena Cari Muka di Era Pemimpin Baru Bojonegoro

Shohibul Umam.
Shohibul Umam.(ist)

Oleh : Shohibul Umam

Pergantian pemimpin di sebuah daerah kerap menjadi momentum penting. Tidak hanya bagi masyarakat secara umum, tetapi juga bagi para elite lokal, birokrat, bahkan tokoh-tokoh yang sebelumnya tidak terlalu menonjol.

Di Kabupaten Bojonegoro, kita tengah menyaksikan babak baru dalam perjalanan pemerintahan daerah. 100 hari kerja pertama Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah sudah selesai dengan berbagai catatan. Namun sayangnya, babak ini justru dibuka dengan fenomena klasik yang terus berulang: perlombaan mencari muka.

Pemandangan seperti ini bukan hal baru. Setiap kali ada pemimpin baru, ada pula “wajah-wajah lama” yang tiba-tiba tampil bersinar, aktif di media sosial, rajin hadir di berbagai acara, bahkan tak segan membagikan pujian berlebihan kepada pemimpin yang baru dilantik baik lewat status aplikasi WhatsApp maupun langsung dengan lisan. Apakah ini bentuk partisipasi aktif dan dukungan tulus? Bisa jadi. Tapi tak jarang, ini hanya strategi untuk kembali eksis, berharap mendapat jabatan, proyek, atau setidaknya dianggap bagian dari “lingkar dalam” kekuasaan.

Ironisnya, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang dahulu pasif, bahkan mungkin berseberangan. Namun kini berubah seolah menjadi loyalis sejati. Perubahan sikap ini mengundang tanya: apakah loyalitas mereka kepada visi dan misi pemimpin, atau sekadar pada kekuasaan itu sendiri?

Yang lebih disayangkan, budaya cari muka ini seringkali justru mengaburkan suara-suara kritis dan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Pemimpin baru bisa saja dikepung oleh pujian palsu dan laporan yang dimanipulasi demi pencitraan. Bahayanya, jika tak waspada, hal ini bisa menjauhkan pemimpin dari realita dan kebutuhan rakyat yang sebenarnya.

Pemimpin baru Bojonegoro tentu membutuhkan dukungan, namun bukan dari orang-orang yang hanya pandai memoles citra dan merangkai kata manis. Yang dibutuhkan adalah kritik yang membangun, kerja nyata, dan kesetiaan pada kepentingan publik, bukan sekadar pencitraan pribadi.

Dari data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa angka kemiskinan kabupaten Bojonegoro pada Maret 2024 adalah 11,69% atau jumlah penduduk miskinnya mencapai 147,33 ribu jiwa. Tentunya angka tersebut masih tergolong tinggi mengingat Kabupaten Bojonegoro memiliki APBD besar jika dibandingkan dengan daerah tetangga.

Tentunya masyarakat Bojonegoro berharap, pemimpin baru ini bisa jeli, melihat dan memilah mana dukungan yang tulus dan mana yang semata penuh kepentingan. Jangan sampai roda pemerintahan tersandera oleh kepura-puraan, karena Bojonegoro tak butuh penjilat, melainkan penggerak.

Mari kita sudahi budaya cari muka dan mulai membangun budaya kerja nyata. Yang Bojonegoro butuhkan sekarang ini bukan banyaknya orang yang menghadap ke atas, tapi yang turun langsung ke bawah: ke rakyat.

Penulis adalah wartawan kabarbaik.co bertugas di Bojonegoro

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait