SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menemukan fakta penyebab pendapatan asli daerah (PAD) dari PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) yang tidak optimal. Salah satu sebabnya karena para penambang sumur tua yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu menjual sebagian besar minyak mentah ke para pengepul solar ilegal.
Menindaklanjuti temuan itu, Komisi B akan segera menggelar rapat koordinasi (rakor) dengan mengundang Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan pihak terkait.
“Kami akan segera menggelar rakor dengan mengudang para pihak terkait,” kata Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Sally Atyasasmi kepada Suarabanyuurip.com, Sabtu (23/8/2025).
Dari terselengaranya rakor, nantinya diharapkan dapat merumuskan solusi konkret untuk menertibkan tata kelola sumur minyak tua, memastikan pendapatan daerah optimal, serta menjamin keselamatan para penambang dan lingkungan sekitar.
“Kami menemukan fakta bahwa banyak penambang tidak menjual minyak mentah hasil produksinya ke PT BBS, yang merupakan mitra resmi Pertamina. Minyak tersebut justru dijual ke pengepul,” ujar Sallya begitu ia karib disapa.
Komisi yang membidangi perekonomian dan keuangan ini mendapati temuan praktik merugikan BBS itu secara langsung melalui kunjungan kerja pada Rabu (20/08/2025) ke Kantor BBS Divisi Sumur Tua Perwakilan Malo.
Praktik penjualan minyak mentah ke pengepul penyulingan solar ilegal tidak hanya terjadi pada struktur sumur tua di Kecamatan Malo, tetapi juga di Kecamatan Kedewan.

Para penambang lebih memilih menjual ke pengepul karena tawaran harga yang lebih tinggi dibandingkan harga resmi yang ditetapkan oleh PT BBS yang memiliki perjanjian kerja sama dengan Pertamina EP sebagai pemilik wilayah kerja.
Akibatnya, pemerintah daerah berpotensi kehilangan PAD secara signifikan karena minyak yang dijual melalui jalur tidak resmi tidak tercatat dan tidak memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah.
“Ini menjadi masalah serius. Jika misalnya hasil produksi mencapai 300 barel, yang disetorkan ke BBS mungkin hanya 100 barel. Sisanya dijual ke pasar gelap melalui pengepul,” jelasnya.
Tindak lanjut lainnya, berpijak Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 14 tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja Untuk Peningkatan Produksi Minyak Dan Gas Bumi, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pendataan jumlah sumur minyak tradisional dan total produksinya.
“Pendataan itu nantinya bisa dijadikan dasar pengajuan izin oleh pemerintah daerah ke pemerintah pusat terhadap sumur rakyat yang belum mengantongi izin. Ini yang akan kita jadikan dasar untuk menata kembali pengelolaannya,” tegas Sally.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi B, Lasuri mendapatkan fakta, terdapat dua tangki milik BBS berkapasitas 5.000 liter dari Lapangan Malo dan sembilan tangki dari Lapangan Kedewan melakukan pengiriman minyak ke Pertamina.
Tetapi dalam prakteknya, sejak beroperasi kembali setelah terbit izin dari KESDM, BBS hanya mengirim minyak mentah ke Pertamina EP sekira tiga tangki atau setara 15.000 liter.
“Dalam pengelolaan, hal itu menjadi kendala yang dialami oleh BBS, sehingga menjadi potensi kerugian baik dari Pertamina maupun BBS sekira 550 barel per hari,” jelas Lasuri.
Kerugian akibat maraknya dugaan praktik pengepul solar ilegal yang membeli minyak mentah dari penambang dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang telah ditetapkan oleh Pertamina jelas membawa kerugian pada setoran PAD.
“Selisihnya mencapai Rp2.000 per liter, jika penambang menjual minyak mentah ke PT BBS dengan harga Rp4.000 per liter, sedangkan di pengepul mencapai Rp6.000 per liter,” beber Lasuri.
Untuk itu pihaknya memberikan saran masukan, agar BBS mengirimkan surat yang ditujukan kepada Dirjen Penegakan Hukum Kementerian ESDM perihal penertiban pengepul solar ilegal. Surat itu ditembuskan ke DPRD Bojonegoro.
“Surat dimaksud digunakan sebagai landasan untuk mengundang Pertamina dan SKK Migas,” ungkap Lasuri.
Terpisah, Manager Operasi PT BBS, Muhammad Ali Imron, membenarkan adanya kunjungan kerja dari Komisi B DPRD Bojonegoro ke Divisi Sumur Tua Perwakilan Malo. Dalam kunjungan itu segala sesuatu tentang keadaan di lapangan telah disampaikan.
Terkait hal itu, BBS dia katakan berusaha melakukan pendekatan secara persuasif, bahwa dengan mengirim minyak kepada negara melalui Pertamina adalah upaya terbaik untuk semua pihak.
Selain itu selama lima tahun terakhir BBS memberikan beberapa fasilitas kepada penambang, diantaranya pemberian BPJS ketenagakerjaan, cek kesehatan sebulan sekali, pelatihan HSSE di Pusdiklat Pertamina, dan pengelolaan lingkungan dengan menanam ribuan pohon.
“Ada sebanyak 382 penambang yang kita daftarkan ke BPJS tenaga kerja,” tandas Imron, sapaan akrabnya.(fin)