SuaraBanyuurip.com –
Permintaan kopiah rajut Blora, Jawa Tengah, meningkat signifikan selama ramadhan. Sayangnya, minimnya modal menjadikan perajin tak mampu memenuhi pesanan. Â
EKO Santoso merupakan pelopor kopiah rajut Blora. Perajin yang tinggal di RT 03 RW 01 Desa Jatirejo, Kecamatan Jepon, ini mulai merintis usaha tersebut sejak tiga lalu. Hasil rajutanya yang dibantu ibu rumah tangga di sekitarnya, sudah dikirim ke beberapa daerah seperti Kediri, Mageten, Jawa Timur, dan Rembang, Jawa Tengah, hingga Lampung.
“Awalnya dulu tahun 2015 saya diajari salah satu teman dari Gresik, kemudian saya buat sendiri. Produk pertama saya pasarkan di Rembang. Alhamdulillah laku dan permintaan mulai meningkat,†kata alumnus Ponpes Lirboyo Kediri ini membuka perbincangan dengan suarabanyuurip.com, Senin (28/5/2018).
Di rumahnya yang terletak di belakang SDN 1 Jatirejo itu, Eko, sapaan akrabnya, telah menularkan ilmu rajutnya kepada masyarakat sekitar sebagai kegiatan sampingan agar memperoleh tambahan pendapatan, dan sekaligus membantu produksinya yang terus meningkat.
“Di sini mayoritas petani. Dulu banyak ibu-ibu yang ngerumpi setiap sore. Kemudian saya tawari pekerjaan membuat kopyah, dan ternyata mau saya ajari dan sampai sekarang berlanjut, berkembang hingga ke beberapa desa,” tutur Eko.
Saat ini ada 50 orang perajut yang aktif dan kebanyakan perempuan. Mereka tersebar di Desa Jatirejo, Desa Puledagel, Desa Gedangdowo, Desa Kemloko Jepon, Desa Tempellemahbang, Desa Keser hingga ada yang dari Rembang.
“Kebanyakan mereka merajut di rumahnya masing-masing. Saya yang memberi bahan bakunya, setelah jadi saya ambil untuk dikemas dan dikirim sesuai alamat pemesan,†ujarnya.
Kelebihannya kopiah ini, menurut Eko, sangat fleksible. Mudah dibawa, dapat dilipat, mudah dicuci dan tidak luntur warnanya karena terbuat dari benang polyester. Untuk harga jual kopyah rajut ia bandrol mulai Rp 35 ribu hingga mencapai Rp 100 ribu per buahnya.
“Harganya per buah bervariasi. Yang paling murah Rp 35 ribu itu paling sederhana hanya terdiri dari dua warna benang saja. Semakin banyak warna, semakin besar, semakin tinggi dan motifnya semakin rumit maka harga akan semakin mahal,†terang Eko Santoso.
Hingga kini, kopiah hasil karyanya yang diberi nama “AL JUHFA†itu sudah menjadi langganan dari Lirboyo Kediri, Magetan dan Rembang. Juga Lampung dan beberapa kota besar lainnya.
“Tapi yang berlanggaran rutin dari Kediri, Magetan dan Rembang. Kediri permintaannya 300 buah per bulan, Magetan mintanya 800 buah per bulan, sedangkan Rembang 200 sampai 250 buah per dua mingguan,” ucapnya.
Diakui, saat Ramadan seperti ini permintaan kopiah meningkat hingga 80 persen lebih. Namun untuk memenuhi permintaan sebanyak itu ia merasa kewalahan karena daya produksinya baru bisa mencapai rata-rata 400 buah per bulan.
Semua dikerjakan secara manual, tanpa mesin. Sedangkan bahan baku harus dibeli dari Surabaya, karena di Blora belum ada lengkap.
“Di Blora ada yang jual benang polyester, tetapi harganya mahal dan pilihan warnanya terbatas. Sehingga saya ambil dari pabrikan di Surabaya yang lebih lengkap dan lebih murah.
Namun dari pabriknya hanya melayani pembelian benang minimal senilai Rp 4 juta. Jadi ketika modal tersendat, terpaksa produksi kita agak kendor,†ungkapnya.
Menurut dia, masalah tenaga kerja tidak ada persoalan karena bisa terus bertambah. Yang menjadi kendala adalah pemenuhan bahan baku karena harus mendatangkan dari Surabaya.
“Sedangkan modal saya terbatas. Tidak sebanding dengan permintaan yang ada,†keluhnya.
Oleh karena itu, Eko berharap berharap ada bantuan permodalah untuk mengambangkan usahanya agar mampu memenuhi pesanan yang meningkat seperti saat ramadan seperti ini. (ahmad sampurno)