Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Bojonegoro – Tarik ulur wacana revisi UU No.6/2014 tentang Desa terkait perpanjangan jabatan kepala desa menjadi 9 tahun menarik perhatian Fraksi Partai Golkar (FPG) DPRD Bojonegoro, Jawa Timur. FPG menilai UU No.6/2014 tentang Desa masih relevan untuk dijalankan.
Ketua FPG DPRD Bojonegoro, Sigit Kusharyanto berpendapat, jika jabatan kepala desa diperpanjang menjadi 9 tahun dan bisa dipilih tiga kali sangat tidak relevan. Karena terlalu lama kepala desa menjabat bisa menciptakan image negatif dan cendurung memunculkan budaya korup.
“Kalau 27 tahun itu cukup tidak relevan. Ini akan memunculkan paradigma atau pemikiran bahwa jabatan tersebut menjadi langgeng,” kata Sigit kepada suarabanyuurip.com, Sabtu (4/2/2023).
Sebagai mantan Kepala Desa Ngraseh, Kecamatan Dander, Sigit menilai, UU No.6/2014 tentang Desa masih relevan untuk dijakankan. Termasuk jabatan kepala desa 6 tahun selama 3 periode.
“Kalau jabatan itu diperpanjang menjadi 9 tahun dan bisa dipilih tiga periode justru bisa menumbuhkemangkan kultur dan kultus yang tidak baik di masyarakat,” tegas wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) 1 itu.
Menurut Sigit, yang terpenting sekarang ini siapapun yang berkeinginan atau sudah menjabat kepala desa harus memiliki pemikiran bagaimana mencipatakan proses pembangunan di desa berhasil. Sebab, dukungan angaran dari pemerintah pusat hingga kabupaten untuk desa sangat besar, sehingga kepala desa harus memiliki tanggungjawab untuk segera menjadikan kemandirian desa.
Kemandirian yang dimaksud Sigit adalah mandiri di segala bidang. Baik mandiri dalam pembangunan, kesejahteraan, ekonomi dan sosial budaya. Untuk mencapai semua itu harus didukung dengan sumber daya manusia (SDM) yang mampu memimpin desa.
“Minside kemandirian desa inilah yang utama daripada tarik ulur masa jabatan kepala desa,” tandas Wakil Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro ini.
Sigit berpandangan, permintaan perpanjangan jabatan oleh kepala desa adalah sah sebagai hak politik mereka. Namun kepala desa juga harus mendengarkan aspirasi dari elemen masyarakat yang ada di desa. Baik itu dari BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda dan lain-lainnya.
“Semua elemen ini harus diajak bicara. Apakah mereka setuju dengan perpanjangan jabatan 9 tahun. Kalau tidak setuju harus sama-sama saling menghormati semua elemen yang ada di desa,” pungkasnya.
Pro-kontra wacana revisi UU Desa terkait perpanjangan jabatan kepala desa terus bergulir di kalangan DPR Ri. Sebagian politisi senayan menilai UU No.6/2014 tentang Desa masih relevan. Bahkan mereka menilai jika jabatan kepala desa diperpanjang 9 tahun dan dapat dipilih tiga kali, dikhawatirkan akan terjadi fenomena pemerintahan yang korup.
Anggota Komisi V DPR RI Sadarestuwati menyampaikan pandangannya terkait UU No.6/2014 tentang Desa. Ia mengatakan, sebenarnya UU Desa masih sangat relevan untuk bisa dilaksanakan, sehingga belum perlu dilakukan revisi, khususnya yang menyangkut usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dari 6 tahun yang sudah tercantum dalam UU Desa.
“Kecuali kalau memang ada yang jadi tuntutan para kepala desa yang bisa diterima semua pihak. Sekali lagi bahwa semuanya dalam artian pemerintah pusat, pemerintah daerah, provinsi, dan kabupaten. Semuanya menginginkan desa ini bisa segera maju. Semuanya tidak ada lagi desa yang masih tertinggal,” tandas Sadarestuwati dalam Dialektika Demokrasi bertema “Menimbang Urgensi Revisi UU Desa” di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Senada disampaikan, Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera. Ia berpenpadat perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan bisa dipilih sebanyak 3 periode, dikhawatirkan akan terjadi fenomena pemerintahan yang korup.
“Kami berpendapat yang sekarang masih cukup akomodatif 6 tahun bisa dipilih 3 periode. Karena kalau 9 tahun ada istilah Power Tend to Corrupt kasihan teman-teman kepala desa. Kita, tuh, bukan ingin membangun kepala desa, kita ingin membangun desa atau desa yang membangun, sehingga sirkulasi kepemimpinan wajib ada dan berikan hak kepada warga desa,” tuturnya.
Berbeda lagi disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin. Menurutnya, banyak substansi yang menjadi poin revisi UU Desa. Di antaranya perpanjangan jabatan kepala desa bukanlah fokus dari usulan revisi tersebut.
“Kalau saya pribadi, usulan teman-teman kemarin sebetulnya lebih merupakan pemantik saja untuk memberikan warning kepada kita semua. Terutama yang di pemerintah pusat, DPR, maupun presiden dan para menteri terkait bahwa ada sesuatu yang harus kita selesaikan di desa,” ujar Yanuar.
Ia menilai, perpanjangan jabatan kepala desa hanya menjadi bagian kecil dari berbagai permasalahan yang ada di desa. Sebaliknya, lanjut dia, pesan utama dari gelombang protes kepala desa dan perangkat desa adalah status dan kesejahteraan.
“Masa depan desa itu lebih luas dari sekadar masa jabatan, lebih luas dari sekadar status, dan kedudukan perangkat desa. Bahkan, lebih luas dari sekadar kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa,” ujar Yanuar.(suko)