Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bojonegoro hari ini turun ke Desa Ngelo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, untuk melakukan pengukuran batas terluar aset-aset milik pemerintah, Selasa (30/05/2023).
Desa Ngelo merupakan salah satu wilayah terdampak proyek strategis nasional (PSN) Bendung Gerak Karangnongko. Namun untuk tahap pengukuran tanah milik warga setempat urung dilakukan sehubungan terdapat penolakan dari para pemilik tanah. Para warga menolak karena merasa belum ada kejelasan menyangkut lokasi baru yang mereka inginkan.
Belum jelasnya relokasi yang mereka minta, berbuntut kemudian dengan pengembalian patok ukur kepada pemerintah kabupaten (pemkab) yang diletakkan di halaman Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (DPU SDA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro.
Kepala BPN Bojonegoro, Andreas Rochyadi mengatakan, hari ini pihaknya menurunkan tim ke Desa Ngelo guna melakukan pengukuran batas terluar, Tanah Kas Desa (TKD), tanah wakaf, dan aset-aset pemerintah lainnya.
“Jadi hari ini kami belum mengukur tanah masyarakat,” kata Andreas kepada SuaraBanyuurip.com, ditemui di kantornya, Selasa (30/05/2023).
Sebetulnya, sesuai jadwal yang ada di BPN, kata pri asli Solo ini, target pengukuran tanah seharusnya selesai pada akhir bulan Juni 2023. Menurut Andreas, warga Desa Ngelo meminta untuk direlokasi. Sedangkan berkaitan relokasi, ada harga yang harus diketahui.
“Bagaimana kita memberikan relokasi kalau kita tidak tahu yang mau direlokasi itu berapa luasnya, bagaimana bentuk bangunannya, nilai tanahnya berapa,” ujarnya.
Andreas menjelaskan, dalam hal pengadaan tanah yang boleh dikatakan mundur dari jadwal yang ditentukan, pihaknya mendorong Pemkab Bojonegoro untuk menjernihkan masalah yang ada. Terutama agar para warga dapat memahami perlunya dilihat hasil inventarisasi, sehingga pemkab dapat mengetahui berapa luas tanah yang diperlukan.
Jika berhasil diadakan pengukuran, masyarakat bisa mengevaluasi hasilnya. Karena diumumkan hasilnya di tempat-tempat strategis yang mudah diketahui oleh publik. Ini agar masyarakat dapat mengkoreksi kebenaran hasil pengukuran.
“Itu selama 14 hari, masyarakat diberi kewenangan mengkoreksi. Misalnya apakah luas tanahnya benar atau tidak. Jika ada yang salah maka dilakukan perbaikan. Baru setelah itu diadakan validasi. Selanjutnya dibuatkan berita acara. Setelah selesai, kami sampaikan ke pemkab. Nah pemkab nanti yang menunjuk appraisal,” jelasnya.
Setelah appraisal mendapat kalkulasi nilai rupiahnya yang disampaikan ke BPN, barulah BPN menyampaikan kepada masyarakat dalam tahapan musyawarah ganti rugi. Yang dimusyawarahkan adalah bentuk ganti rugi.
“Yang dimusyawarahkan bukan nilainya. Nilai yang dikeluarkan oleh appraisal itu bersifat final dan mengikat. Jadi bentuk ganti ruginya belum ditentukan. Kita tidak bisa ngotot memaksa mereka diganti pokoknya harus uang. Apa yang jadi keinginan mereka kami sampaikan ke pemkab,” tandasnya.
Terpisah, Kuasa Hukum Forum Masyarakat Desa Ngelo Bersatu, Agus Susanto Rismanto menyatakan, warga Desa Ngelo terdampak PSN berkomitmen untuk tidak mengganggu hak BPN untuk mengukur wilayah publik atau wilayah aset negara.
“Jadi kalau mereka mau mengukur milik mereka (aset pemerintah) ya silakan. Tetapi mereka tidak boleh memaksakan mengukur wilayah pribadi warga yang tidak sepakat dengan proses yang tidak ada dalam opsi yang disampaikan warga. Sampai hari ini, warga Ngelo masih tetap pada opsi relokasi,” tegasnya.(fin)