SuaraBanyuurip.com – Arifin Jauhari
Bojonegoro – Kabar tentang kecilnya nilai appraisal untuk ganti untung pada lahan dan aset milik warga terdampak Bendungan Karangnongko di Desa Kalangan, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, bergulir ke telinga Kuasa Hukum masyarakat Desa Ngelo, Agus Susanto Rismanto.
Oleh sebab itu, mantan anggota dewan itu berencana akan mereviu atau melakukan tinjuan ulang atas semua hal berkaitan pembebasan lahan terdampak di desa yang bersebelahan dengan Desa Kalangan tersebut. Di mana nilai ganti untung untuk desa tetangga telah ditetapkan di bawah Rp300 ribu.
“Sudah tak prediksi sebelumnya, angkanya akan berada di sekitar itu jika tidak ada terobosan hukum,” kata Gus Ris, sapaan akrab Agus Susanto Rismanto kepada SuaraBanyuurip.com, Rabu (29/11/2023).
Berkenaan hal itu, mantan politikus ini menyatakan, mungkin akan melakukan review atas hak masyarakat Desa Ngelo. Sebab dengan angka yang didapat itu dinilai mustahil bisa untuk membeli tanah diluar Desa Ngelo atau di luar Desa Kalangan.
“Rencana besok Sabtu (03/12/2023) saya baru mau ketemu tokoh-tokoh dan masyarakat Desa Ngelo untuk menentukan langkah seperti apa, jadi untuk saat ini belum bisa memberikan kesimpulan dulu,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Gus Ris sempat mengemukakan analisa logisnya dengan membandingkan tanah yang dibebaskan untuk wisata religi yang berlokasi sama-sama di Kecamatan Margomulyo pada 2021. Di situ terjadi pembebasan lahan seharga Rp275.000-325.000 dengan appraisal “seadanya” waktu itu.
Artinya kalau menarik appraisal sebagai perbandingan, dari Desa Sumberejo, Kecamatan Margomulyo itu, maka ketemu harga tanah di Desa Ngelo secara kelayakan hanya separuh dari harga tanah di lokasi masjid tujuh kubah.
“Jadi cuma Rp160.000 sampai Rp175.000 maksimal, dengan harga segitu masyarakat Ngelo tidak bakalan mau membebaskan tanahnya,” tandasnya.
Dengan begitu, seyogyanya Pemkab Bojonegoro membuat terobosan hukum jika tidak ingin bermasalah dengan hukum di kemudian hari. Memang NJOP adalah salah satu standar menetapkan harga tanah.
“Tetapi sangat tidak mungkin jika tidak ada dasar hukumnya kemudian KJPP suatu misal menetapkan harga Rp300.000,” tegasnya.
Sementara Kepala Desa Kalangan, Kasmani menganggap nilai appraisal yang ditetapkan untuk warganya itu memiliki nominal yang sangat kecil. Sebab jauh dari harapan yang pernah disampaikan sebesar Rp600 minimal per m².
“Saya dulu minta minimal Rp600 ribu per m², la ini malah jauh di bawah itu,” bebernya.
Dikonfrontir ihwal pernyataan BPN mengenai aturan yang tersedia untuk para warga jika pihak yang berhak tidak setuju terhadap nilai ganti rugi dan tidak punya pilihan untuk memilih salah satu bentuk ganti rugi bisa menggugat lewat Pengadilan. Kasmani meyakini masyarakatnya tidak akan menang dalam gugatan.
“Saya yakin, masyarakat kami wong cilik pasti tidak akan menang kalau menggugat pemerintah, pasti itu, wong dipek menange dewe (diambil menangnya sendiri), yang appraisal itu manusia lo,” tandasnya.
“Yang harus jadi pertimbangan tim appraisal itu kan tidak ada orang Kalangan yang jual tanah, apalagi ini mendukung negara, masa memberi nilai yang tidak layak,” lanjutnya.
Dalam berita sebelumnya, berkaitan adanya keluhan dari masyarakat yang lahannya masuk dalam pembebasan, Kepala BPN Bojonegoro, Andreas menyebutkan ada aturan yang mempersilakan masyarakat menggugat ke Pengadilan. Aturan itu yakni Undang-Undang (UU) No. 2 tahun 2012, PP 19/2021dan Permen ATR/19 2021, serta Peraturan MA No. 3 Tahun 2016.
Regulasi itu mengatur jika pihak yang berhak tidak setuju terhadap nilai ganti rugi dan tidak ada pilihan untuk memilih salah satu bentuk ganti rugi.
“Secara aturan selama 14 hari sejak musyawarah uang ganti kerugian kami titipkan di Pengadilan,” terang Andreas.(fin)