Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari
Jakarta – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan bahwa dampak dari adanya transisi energi menyebabkan nilai investasi kegiatan hulu migas menjadi lebih mahal.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan, bahwa kondisi global untuk industri hulu migas masih penuh dengan tantangan dan dinamika yang sangat tinggi karena ketidakpastian baik secara geopolitik maupun karena adanya transisi energi.
Transisi energi disebut menimbulkan dampak berupa kendala-kendala bagi investasi di hulu migas. Ini karena adanya ‘restriction’ atau larangan dari para lembaga keuangan berdampak pada pendanaan project. Di mana semua project di hulu migas berada dalam angka yang sangat besar.
“Sehingga tidak ada satupun perusahaan yang akan kuat mendanai sendiri. Tentu saja akan bekerja sama dengan institusi finansial. Dan itu tantangan yang tidak mudah,” kata Dwi Soetjipto dalam konferensi pers kinerja industri hulu migas semester I tahun 2023, Selasa (18/07/2023) diikuti SuaraBanyuurip.com secara daring.
Dijelaskan, pada tahun 2050 permintaan energi secara keseluruhan bakal meningkat sampai 15%. Secara global minyak dan gas bumi masih mendapat porsi 55%, sedangkan renewable energy menempati porsi sekira 14%.
Dengan begitu, terjadi persaingan antara renewable energy (energi terbarukan) dengan energi fossil. Sehingga hal ini menyebabkan juga peningkatan dalam menarik investasi.
Berkenaan transisi energi menuju net zero emission ini, para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) disebut memiliki target sendiri di headquarternya untuk bersikap menentukan capaian hal itu.
“Maka seiring tuntutan pengurangan emisi karbon melalui proyek CCS (Carbon Capture and Storage) dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) investasi di hulu migas menjadi lebih mahal dan lebih tinggi,” ujar Dwi.(fin)