Catatan Menjelang Lengser : Bupati Ngetoprak, Demi Pengembangan Seni dan Budaya Bojonegoro?

Agus Sighro Budiono
Agus Sighro Budiono.(ist)

Oleh : Agus Sighro Budiono

Seni dan Budaya, memang kerapkali hanya menjadi alat legitimasi individu dalam rangka mempengaruhi opini publik. Dalam konteks politik pencitraan, seni dan budaya terbukti cukup efektif untuk merayu dan mendekatkan figur pemimpin ke hati rakyat.

Kita lihat bagaimana bahagianya para pejabat Bojonegoro beserta keluarganya mengikuti pawai karnaval diatas mobil bergemerlap lampu hias mengiringi kereta kencana ibu bupati Bojonegoro yang berdandan dan mentahbiskan dirinya menjadi Ratu Tribuana Tunggadewi pada Bojonegoro Night Carnival 2022, kemudian dilanjut BNC 2023 dengan gelaran yang lebih meriah dan spektakuler Ibu bupati mencitrakan dirinya sebagai Ratu Shima penguasa kerajaan Kalingga yang terkenal adil dan bijaksana.

Rakyatpun takjub dibuatnya. Ribuan orang Bojonegoro tumpah ruah di sepanjang jalan yang dilalui penguasa Bojonegoro ini. Mereka melambaikan tangan sambil mengelu-elukan bupati Anna yang didampingi sang suami Ali Dupa.

Malam itu rakyat gembira, sejenak mereka lupa bahwa anaknya masih nunggak biaya sekolahnya, mereka lupa kalau jeratan hutang bank thithil (rentenir), mereka lupa beberapa hari yg lalu lapak dagangannya digusur ke tepi kuburan. Pendeknya malam itu semua gembira.

Saking pingin menghibur warganya bupati Anna bahkan rela mempending rapat paripurna penetapan KUA/PPAS di gedung DPRD untuk sekedar bermain ketoprak dan kembali hadir di rapat paripurna seusai main ketoprak sekitar pukul 22. 15 wib … Wow perjuangan yang luar biasa.!

Pergelaran ketoprak yang dilaksanakan pada Rabu, 20 September 2024 di alun alun kota adalah putaran terakhir dari program ketoprak Plesiran Anna Muawanah yang dilaksanakan di lima titik wilayah Bojonegoro.

Tak dipungkiri, masyarakat kita secara umum masih sangat mudah melupakan kezaliman. Atau mungkin saking seringnya dizalimi sehingga tidak lagi ada ruang untuk merutukinya.

Apakah perayaan perayaan yang diselenggarakan bupati Anna Muawanah itu sebagai wujud kepedulian terhadap seni dan budaya Bojonegoro? Apakah pelaku seni di Bojonegoro merasakan manfaat secara suistunable (berkelanjutan) dengan adanya perayaan tersebut?

Tentu bagi seniman dan budayawan Bojonegoro, apa yang dilakukan oleh bupati Anna itu masih jauh panggang dari api.

Paradoks global memang sedang terjadi di Bojonegoro, daerah agraris yang memiliki konten lokal yang kuat itu sedang memimpikan menjadi masyarakat modern, senyampang dengan industrialisasi migas yang membawa konsekwensi berduyun-duyunnya para pelaku bisnis emas hitam itu dari berbagai daerah bahkan negara, yang tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup masyarakat.

Perubahan gaya hidup itu tanpa disadari masyarakat Bojonegoro dengan gembira telah menanggalkan identitas lokalnya. Persoalan identitas dan kritis budaya ini memiliki kaitan tali temali dengan variabel lain sehingga harus segera dipetakan secara komprehensif spektrum permasalahannya.

Sejarah bangsa-bangsa membuktikan, semua negara atau bangsa yang ingin maju harus memiliki modal akar budaya lokal. Negara kecil seperti Jepang, misalnya, kental sekali ke-Jepang-annya. Begitu pula China, khas dan jelas ke-China-annya.

Bagaimana dengan Indonesia? wabil khusus Bojonegoro. Kaya sekali. Namun justru karena kekayaannya itu apabila salah urus, dan tidak mampu menjaganya menjadi ajimat, tentu malah rusak, dan tercerabut dari akarnya.

Akibatnya, budaya unggul yang berakar pada budaya lokal itu tak menemukan rumah budayanya. Kesadaran berbudaya unggul inilah yang seharusnya mendorong para pengambil kebijakan di Kabupaten Bojonegoro untuk berfikir menyisihkan anggaran untuk menjaga dan menghidupi aset budaya kita dengan membangun infrastruktur kebudayaan.

Sejatinya dengan adanya infrastruktur seni dan budaya di Bojonegoro adalah sebuah keniscayaan. Sebab dalam upaya menegaskan identitas suatu daerah, ada dua hal yang harus ditancapkan bersama pengukuhan budaya, yaitu dengan pendidikan yang bagus dan dengan pemberdayaan masyarakat.

Keberadaan infrastruktur kebudayaan dapat menjadi arena yang bersifat leveled playing field, ruang bermain yang berlaku sama bagi semua warga.
Mereka yang mendapatkan kemajuan adalah mereka yang memang lebih kreatif, mereka yang lebih produktif, mereka yang bisa menghasilkan karya lebih baik.

Investasi untuk tercapainya semua itu bukan hanya mahal, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. Namun itu harus dilakukan karena pilihan lain adalah Kabupaten Bojonegoro akan menjadi terbelakang dan hanya jadi obyek eksploitasi, atau menjadi daerah maju beradab setara dengan kabupaten/kota lainnya yang notabene besaran APBDnya jauh dibawah bumi Angling darma ini.

Pucuk pimpinanm kabupaten ini akan segera berganti. Seniman dan budayawan harus mampu menunjukan nilai tawar di sela transisi kepemimpinan Bojonegoro.
Para pelaku dan siapapun yang peduli terhadap seni dan budaya Bojonegoro, harus mempunyai gagasan yang dijadikan rujukan bagi penyelenggara pemerintahan Bojonegoro dalam menyusun strategi budaya.

Musti kita sadari. Dibalik strategi budaya, tidak hanya terdapat cita-cita, namun juga panduan nilai berbangsa dan bermasyarakat, daya kerja serta kemampuan memecahkan masalah. Kebudayaan adalah dialektika antara yang kita warisi dan perkembangan peradaban yang kini tengah kita alami. Namun meski budaya merupakan proses dialektika, tetapi nilai, norma, adat, tetap mewarnai dan menjadi ciri khas dalam setiap perkembangan ke depan.

Kini yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengaudit aset budaya yang tercerai-berai dan sudah ditinggalkan itu. Aset-aset budaya ini bisa berasal dari komunitas, bisa juga aset-aset unggulan pada pribadi.

Strategi kebudayaan yang bersifat lokal mensyaratkan kemampuan menghidupkan konsep filosofis yang mendasarinya tanpa lepas dari aspek historisnya. Di sisi lain, mensyaratkan program kerja dan manajemen pemerintahan agar secara sosiologis mampu hidup dan dirasakan manfaatnya dalam berbagai bentuknya.

Karena itu, sekarang kedepannya bagaimana kita bisa menghargai lagi kekayaan lokal sebagai basis identitas nasional, membentuk karakter masyarakat Bojonegoro dengan disertai penegasan identitasnya agar tak mudah lagi dipenetrasi budaya luar.

Oleh karena itu, adanya infrastruktur kebudayaan di Bojonegoro harus benar-benar direalisasikan. Siapapun yang akan memimpin Bojonegoro, kalau hal ini tidak terwujud akan menjadi dosa sosial bagi Bupati Bojonegoro yang akan ditagih sepanjang jaman.

Penulis merupakan tenaga pendidik juga pegiat seni dan budaya di Kabupaten Bojonegoro.

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 Komentar

  1. Bagi saya Bupati ana sudah bagus membangun bojonegoro. Dan semoga bisa ke Jilid II MEMEMPIN JENOGORO MATOH.
    Njenengan pun misal jadi bupati belum tentu bisa seperti apa yg dilakukan bu Ana.
    Matur nuhun

  2. Bagi saya Bupati ana sudah bagus membangun bojonegoro. Dan semoga bisa ke Jilid II MEMEMPIN JENOGORO MATOH.
    Njenengan pun misal jadi bupati belum tentu bisa seperti apa yg dilakukan bu Ana.
    Salam jilid II bu Ana Jozz
    Matur nuhun