Oleh : H. Abdul Wahid Azar, SH
“Sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, kalian akan melihat: minyak akan menghancurkan kita … Minyak adalah kotoran Iblis.” — Juan Pablo Pérez Alfonso, politikus Venezuela dan salah satu pendiri OPEC (Wekipedia, Useem, Jerry (2003-02-03), The Devil’s Excrement, Fortune Magazine, diakses tanggal 06-11- 2009.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro Kiki Ferdiana mengatakan, angka kemiskinan Bojonegoro tahun 2023 ini turun menjadi 12,18 persen dari total jumlah penduduk miskin di Bojonegoro sebanyak 153,25 ribu jiwa.
“Data itu per Maret 2023. Memang turun yang sebelumnya 12,21 persen atau sebanyak 153,40 ribu jiwa tahun 2022 menjadi 12,18 persen,” katanya, Senin (23/10/2023).
Namun, kemiskinan di Bojonegoro turunnya hanya 150 jiwa atau 0,03 persen dalam rentang waktu satu tahun. Melihat kondisi ini harus ada langkah konkrit untuk menurunkan kemiskinan, misalnya dengan memperluas lapangan pekerjaan dan memperbanyak fasilitas pendidikan. (suarabanyuurip, 23/10/2023, 20.23).
Sebuah ironi terjadi di Bojonegoro, dimana wilayah kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA) Migas dan APBD yang sangat tinggi (Rp 7,94 triliun) di bandingkan dengan daerah laiinya, kemiskinan masih tinggi. Apakah ini sebuah Paradox of Plenty, yang juga dikenal sebagai “resource curse” atau “curse of natural resources” (kutukan sumber daya alam) ? Adalah fenomena di mana negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya, seperti minyak, gas alam, logam berharga, atau mineral lainnya, sering mengalami masalah ekonomi dan politik yang parah meskipun memiliki sumber daya tersebut.
Dari data ststistik tersebut, Bojonegoro adalah salah satu contoh yang mencerminkan fenomena Paradox of Plenty (Kutukan Sumber Daya Alam) di Indonesia. Meskipun memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama di sektor migas, Bojonegoro juga menghadapi tantangan signifikan, seperti tingkat kemiskinan yang tinggi. Fenomena ini terjadi ketika wilayah atau negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya, seperti Migas, tidak selalu merasakan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan dari sumber daya tersebut.
Label ‘the paradox of plenty’ lazimnya dialamatkan pada zona-zona yang kaya bahkan berlimpah sumber alam seperti bahan bakar fosil –minyak, gas, dan batu-bara—dan mineral-mineral lainnya, namun Rakyatnya terjebak dalam kemiskinan dan/atau konflik akut (Richard Auty, 1993; Jeffrey Sachs et al, 1995; Anthony J. Venables, 2016: 161-184; Michael L. Ross, 2015: 239-259). Misalnya, booming minyak negara Iran, Venezuela, Aljazair, Nigeria, dan bahkan Negara RI tahun 1970-an, menurut hasil riset empirik Terry Lynn Karl (1997), tidak otomatis mensejahterakan Rakyat. Ini paradoks : kaya sumber alam, namun Rakyat miskin (STAGING-POINT.COM/2018/01/14).
Untuk mengatasi Paradox of Plenty dan mengurangi kemiskinan, Bojonegoro mungkin perlu melibatkan strategi yang melibatkan diversifikasi ekonomi, tata kelola yang baik dalam pengelolaan sumber daya alam, dan investasi dalam pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Selain itu, perlu juga tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan sumber daya alam dan alokasi manfaatnya.
Penanggulangan Pengangguran
Penanggulangan pengangguran merupakan upaya penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Bojonegoro, termasuk mengurang angka kemiskinan. Dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Bojonegoro, terutama dalam sektor Migas, pertanian dan hasil hutan, serta dengan berfokus pada sektor agro-industri harus segera ditingkatkan.
Pengembangan Agro-industri yang berkelanjutan, termasuk pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan hasil hutan, dapat menciptakan lapangan kerja di seluruh rantai nilai. Pabrik pengolahan kayu jati, dan jika PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X bekerja sama dengan Perhutani dengan pemanfaatan kawasan hutan di Bojonegoro untuk pengembangan Agroforestry tebu seluas 5.661,5 hektar ini berhasil, maka dapat menyerap tenaga kerja di wilayah Bojonegoro, dan jika pengembangan Agroforestry tebu tersebut berhasil, maka dapat didirikan Pabrik Gula di wilayah Bojonegoro.
Pembangunan terpadu dan berkelanjutan adalah pendekatan untuk pembangunan yang memadukan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan tujuan menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan, menyelaraskan kebutuhan saat ini dengan kepentingan generasi mendatang, dan mengatasi tantangan sosial. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pemerataan sosial, dan perlindungan lingkungan.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009, tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) memungkinkan suatu daerah dikembangkan menjadi kawasan ekonomi khusus tentu saja diperlukan kajian dan penelitian seksama.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah wilayah yang diberikan perlakuan khusus oleh pemerintah untuk mendorong investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan di daerah tersebut. KEK biasanya memiliki peraturan dan insentif fiskal yang berbeda dari wilayah lainnya untuk menarik investor, mendorong inovasi, dan menciptakan lapangan kerja. Konsep KEK sering digunakan untuk merangsang pembangunan ekonomi di wilayah yang membutuhkan pemulihan atau transformasi.
Beberapa Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki kinerja optimal :
KEK Galang Batang
KEK Galang Batang berada di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Berdiri di area seluas sekitar 2.333 hektar ini sudah beroperasi pada 8 Desember 2018 lalu. Kawasan yang masuk dalam kategori KEK industri ini disiapkan untuk kegiatan utama yakni industri pengolahan bauksit dan logistik. KEK ini memiliki komitmen investasi senilai Rp 18 triliun. Hingga 2021, realisasinya mencapai Rp 15,7 triliun. Dalam kurun waktu dua tahun sejak beroperasi, KEK Galang Batang telah melakukan ekspor Smelter Grade Alumina dan membantu memperbaiki neraca perdagangan.
KEK Sei Mangkei
KEK Sei Mengkei berada di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Area yang memiliki luas sekitar 2.002 hektar ini telah beroperasi pada Januari 2015 silam. Tergolong KEK industri dan pariwisata, kegiatan utamanya meliputi, industri pengolahan kelapa sawit; industri pengolahan karet; pariwisata; serta logistik. Adapun nilai komitmen investasinya sebesar Rp 14,6 triliun, sementara realisasinya mencapai Rp 6,2 triliun. KEK Sei Mengkei dinilai telah melepas ekspor dengan nilai yang menjanjikan, menghidupkan pasar di sekitar kawasan, memberi banyak pengaruh pada pertumbuhan ekonomi daerah.
KEK Kendal
Kawasan berlokasi di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, ini telah beroperasi pada Mei 2021 lalu. Berdiri di area seluas 1.000 hektar. Termasuk dalam KEK industri, kegiatan utamanya meliputi, industri tekstil dan busana; industri furnitur dan alat permainan; industri makanan dan minuman; industri otomotif; industri elektronik; serta logistik. KEK ini memiliki komitmen investasi senilai Rp 22,9 triliun. Hingga 2021, realisasinya mencapai Rp 12,1 triliun. KEK Kendal dinilai sukses menjadi magnet investasi bagi pelaku usaha dari berbagai negara. Tercatat 11.380 orang telah terserap menjadi tenaga kerja di kawasan itu.
Penulis adalah Caleg DPR RI 2024
Sejahterakan rakyat Bojonegoro,kaya minyak,tapi rakyat miskin.apalagi desa purwosari.banyak pengangguran
Ndak perlu teori yg tinggi2, dibutuhkan hanya kemauan dan keberanian untuk membela masyarakat lokal terhadap penjajahan yg mengatasnamakan Pertamina dan sejenisnya. Ayo kita tutup project strategis nasional kalau tidak menguntungkan masyarakat lokal dan Bjn khususnya.
Ndak perlu teori yg tinggi2, dibutuhkan hanya kemauan dan keberanian untuk membela masyarakat lokal terhadap penjajahan yg mengatasnamakan Pertamina dan sejenisnya. Ayo kita tutup project strategis nasional kalau tidak menguntungkan masyarakat lokal dan Bjn khususnya.