SuaraBanyuurip.com – APBD Bojonegoro tahun 2024 ditetapkan sebesar Rp 8 triliun lebih. Besaran APBD ini menempatkan Bojonegoro sebagai kabupaten terkaya kedua di Jatim dan nomor enam di Indonesia.
Namun, besarnya APBD Bojonegoro belum memberikan kesejahteraan secara merata. Angka kemiskinan tinggi, pengangguran bertambah, dan ketimpangan ekonomi kian menganga.
Tahun 2023 jumlah penduduk miskin 153.253 jiwa, tahun ini turun 5.920 jiwa menjadi sebanyak 147.330 jiwa. Sementara garis kemiskinan tahun 2024 mengalami kenaikan sebesar Rp471.45 per kapita per bulan, dibanding tahun sebelumnya sebanyak Rp435.936. Kenaikannya sebanyak 8,15 persen, setara dengan Rp35.521.
Warisan permasalahan tersebut akan menjadi tantangan berat bagi Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro terpilih pada Pilkada 2024. Diperlukan strategi dan kebijakan yang dapat memaksimalkan potensi sumber daya alam yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mengatasi problema yang kompleks tersebut, Wartawan SuaraBanyuurip (SBU) berkesempatan melakukan wawancara dengan visioner, Abdul Wahid (AW), yang menggagas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bojonegoro. Dia adalah Pengurus Pusat Ikatan Persaudaran Haji Indonesia, KAHMI, Relawan Penanggulangan Stunting Indonesia, dan pernah menjadi calon DPR-RI Dapil IX (Bojonegoro-Tuban) pada Pileg 2024.
Abdul Wahid (AW) meyakini pembangunan KEK menjadi solusi efektif mengeluarkan Bojonegoro dari belenggu kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mengapa demikian ? Simak hasil wawawancara Wartawan SuaraBanyuurip (SBU) dengan Abdul Wahid (WA) :
SBU :
Selamat siang, Pak Abdul Wahid. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbincang dengan kami. Kami mendengar Anda memiliki gagasan tentang pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bumi Angling Dharma di Bojonegoro, pada saat anda mengikuti Pemilu Legislatif 1924 lalu. Bisa dijelaskan lebih lanjut tentang ide ini dan bagaimana konsep KEK ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di Bojonegoro?
AW :
Selamat siang, terima kasih juga atas kesempatannya. Ya, gagasan KEK Bumi Angling Dharma ini saya sampaikan sebagai respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Bojonegoro saat ini, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi. Bojonegoro memiliki sumber daya alam yang luar biasa, namun belum sepenuhnya memberikan dampak kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. Oleh karena itu, saya mengusulkan pembentukan KEK ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis kerajinan hasil hutan, sumber minyak bumi, dan kawasan industrialisasi.
SBU:
Apa yang membuat Anda yakin bahwa KEK ini bisa menjadi solusi efektif untuk masalah kesejahteraan di Bojonegoro?
AW:
Kita perlu melihat potensi Bojonegoro secara strategis. Hutan jati yang melimpah, sumber daya minyak bumi, dan letak geografis yang cukup strategis adalah modal besar. Tapi modal ini tidak akan menghasilkan manfaat maksimal jika tidak dikelola dengan baik. Di sinilah KEK Bumi Angling Dharma berperan.
Saya melihat bahwa Bojonegoro harus bertransformasi, tidak hanya bergantung pada minyak dan gas bumi, tetapi juga memanfaatkan potensi lain, seperti kerajinan dari hasil hutan yang bisa didorong ke pasar global. Jika kita menciptakan kawasan industrialisasi yang terintegrasi dengan kerajinan lokal dan industri hilir minyak dan gas bumi, kita bisa menciptakan banyak lapangan kerja dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, saya yakin KEK ini juga dapat mendorong investasi masuk, memperbaiki infrastruktur, dan mengembangkan keterampilan tenaga kerja lokal, sehingga kesejahteraan rakyat bisa lebih terjamin.
SBU:
Apa alasan Anda menggunakan KEK Singhasari sebagai referensi dalam membangun KEK Bumi Angling Dharma?
AW:
Sebenarnya tidak hanya KEK Singashari, KEK Arun Aceh, Juga bisa dijadikan referensi, KEK Singhasari adalah contoh bagaimana sebuah kawasan yang tadinya kurang memiliki reputasi besar bisa berkembang pesat dengan fokus yang jelas, yaitu pada teknologi dan pariwisata digital. KEK ini mengintegrasikan potensi lokal dengan teknologi modern, dan itu adalah sesuatu yang juga bisa kita lakukan di Bojonegoro, tetapi dengan fokus yang berbeda.
Bojonegoro punya keunggulan dalam sumber daya alam, terutama di sektor minyak bumi dan kehutanan. Namun, tanpa industrialisasi yang tepat dan inovasi dalam pengolahan sumber daya lokal, kita hanya akan menjadi pemasok bahan mentah. Dengan mencontoh model KEK Singhasari yang mendorong inovasi dan investasi, saya yakin Bojonegoro bisa mengembangkan industri hilir yang kuat, terutama dalam pengolahan minyak dan produk hasil hutan.
SBU:
Bisa Anda jelaskan lebih detail mengenai tiga fokus utama KEK ini, yaitu kerajinan hasil hutan, sumber minyak bumi, dan kawasan industrialisasi?
AW:
Tentu. Fokus pertama adalah kerajinan hasil hutan, terutama kayu jati. Produk kerajinan kayu jati dari Bojonegoro sebenarnya sudah memiliki nilai jual tinggi, tetapi masih terhambat oleh skala produksi dan akses pasar. Melalui KEK, kita ingin meningkatkan produksi ini dengan memanfaatkan teknologi, memperluas akses ke pasar internasional, dan melibatkan lebih banyak pengrajin lokal.
Kedua adalah sumber minyak bumi. Bojonegoro memiliki potensi besar di sektor minyak, tetapi selama ini kita lebih banyak fokus pada eksplorasi dan produksi. Dengan KEK ini, saya ingin mendorong industri hilir untuk mengolah hasil minyak bumi menjadi produk-produk bernilai tambah, seperti petrokimia atau produk turunan energi lainnya. Ini akan memberikan lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah.
Ketiga, kawasan industrialisasi. Ini penting agar kita tidak hanya bergantung pada sektor primer. Saya ingin Bojonegoro memiliki kawasan industri yang terintegrasi, yang tidak hanya mengandalkan minyak, tetapi juga memproduksi barang jadi dari sumber daya lokal. Dengan begitu, kita bisa menarik lebih banyak investor dan membuka lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat.
SBU:
Luar biasa. Bagaimana Anda melihat kesiapan Bojonegoro untuk mewujudkan KEK ini? Apakah ada kendala yang menurut Anda perlu diatasi?
AW:
Kesiapan Bojonegoro tergantung pada beberapa hal. Infrastruktur harus diperbaiki dan diperluas, terutama akses jalan, listrik, dan air bersih ke wilayah-wilayah yang akan dikembangkan. Selain itu, kita perlu meningkatkan kualitas SDM. Banyak tenaga kerja lokal yang perlu diberikan pelatihan, terutama dalam hal teknologi dan keterampilan industri. Ini adalah tantangan, tetapi juga peluang besar untuk meningkatkan daya saing kita.
Saya juga menyadari bahwa masalah regulasi dan perizinan bisa menjadi hambatan, terutama bagi investor yang tertarik untuk masuk. Oleh karena itu, perlu ada kerjasama erat antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan sektor swasta untuk mempermudah proses ini.
SBU :
Apa langkah konkret yang akan Anda usulkan untuk mewujudkan KEK Bumi Angling Dharma ini?
AW:
Langkah pertama adalah membangun konsensus dan komitmen dari berbagai pihak, termasuk para Calon Bupati (siapapun yang terpilih), baik itu pemerintah, investor, maupun masyarakat. Tanpa dukungan semua pihak, ide ini tidak akan terwujud. Setelah itu, kita perlu fokus pada pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan fasilitas pendukung lainnya. Saya juga akan mengusulkan program pelatihan keterampilan bagi masyarakat lokal agar siap ketika industri mulai berjalan.
Selain itu, memulai kampanye investasi untuk menarik minat investor, baik dari dalam maupun luar negeri. KEK ini harus dikelola secara profesional dan transparan agar dapat menarik minat pelaku industri dan menciptakan dampak ekonomi yang nyata bagi Bojonegoro.
SBU:
Terima kasih atas waktu dan penjelasannya, Abdul Wahid. Gagasan Anda tentang KEK Bumi Angling Dharma ini sangat inspiratif. Semoga gagasan Anda ini menjadi perhatian pemangku kebijakan dan bisa terealisasi, sehingga Bojonegoro segera merasakan manfaatnya.
AW:
Terima kasih juga. Saya berharap masyarakat Bojonegoro mendukung gagasan ini, karena ini bukan hanya untuk masa depan ekonomi daerah, tetapi juga untuk kesejahteraan generasi kita mendatang.