Serapan APBD oleh Pemkab Hanya 53 Persen, DPRD Bojonegoro : Ini Hal yang Aneh

Gedung Pemkab Bojonegoro (lama) bersebelahan dengan Kantor Bupati Bojonegoro yang baru.
Gedung Pemkab Bojonegoro (lama) bersebelahan dengan Kantor Bupati Bojonegoro yang baru.

SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari

Bojonegoro — Realisasi serapan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Tahun 2024 oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur, per 30 November 2024 hanya mencapai 53,90 persen. Rendahnya serapan belanja bakal berdampak pada tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa), dan ini dinilai sebagai hal yang aneh oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bojonegoro, Luluk Alifah mengatakan, realisasi serapan APBD per 30 November 2024 sebesar 53,90 persen, atau baru terealisasi belanja sebesar Rp4,4 triliun dari total Rp 8,2 triliun APBD 2024.

“Leres (benar), (data) per 30 November 2024,’’ kata Luluk Alifah saat dikonfirmasi Suarabanyuurip.com, Senin (09/12/2024).

Kendala teknis berupa lambatnya sistem informasi pemerintah daerah (SIPD) dikatakan menjadi alasan serapan APBD menjadi rendah. Meski begitu, pemkab disebutnya telah melakukan usaha untuk meningkatkan percepatan serapan belanja.

Anggota DPRD Bojonegoro, Lasuri.
Anggota DPRD Bojonegoro, Lasuri.

Misalnya, percepatan serapan belanja dalam upaya mengantisipasi lambatnya SIPD, pihaknya melakukan pencairan surat permintaan pembayaran (SPP) dan surat perintah membayar (SPM) dengan cara manual.

“Upaya lainnya untuk mempercepat serapan belanja yaitu dengan monitoring evaluasi kegiatan proyek strategis daerah (PSD), dan evaluasi penyerapan anggaran yang dipimpin oleh Pj bupati setiap bulan,’’ beber perempuan yang juga menjabat fungsi sebagai Bendahara Umum Daerah (BUD) ini.

Realisasi serapan belanja yang berada di bawah 60 persen pada akhir tahun dinilai aneh dan tidak ideal oleh para anggota DPRD Bojonegoro. Lasuri salah satunya.

“Kalau bicara ideal maka ya harusnya sampai akhir tahun atau tutup buku akhir tahun serapan ideal di atas 90 persen,” ujar Politikus dari Partai PAN ini.

Sebab, lanjut Lasuri mengartikan, apa yang sudah direncanakan oleh pemkab dan disahkan dalam APBD itu merupakan sebuah peraturan daerah (Perda) APBD yang harusnya dilaksanakan dan dikerjakan sehingga tingkat serapan di akhir tahun bisa maksimal.

“Tapi memang aneh ya, di 6 tahun terakhir ini setiap penetapan APBD Kabupaten Bojonegoro memasang angka defisit yang cukup tinggi di mana defisit itu akan di tutup oleh SILPA,” ungkap politikus ramah ini.

Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro, Ahmad Supriyanto.
Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro, Ahmad Supriyanto.

Menurut Lasuri, keanehan ini timbul ketika eksekutif memasukkan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang mana biasanya di bulan Juli, tetapi mereka sudah bisa mengira-ngira bahwa Silpa nanti akan besar. Padahal baru pertengahan tahun berkenaan.

“Artinya pada saat proses pelaksanaan APBD tahun berkenaan masih jalan di bulan Juli tapi pemkab sudah bisa memperkirakan bahwa Silpa nanti akan besar, anehnya itu di sini,” ungkapnya.

Ia kemudian menilai bahwa hal itu menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan bagi bupati terpilih. Ia berharap kepada pihak eksekutif ke depannya agar dalam menyusun APBD nantinya perencanaan di masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) harus betul-betul matang agar anggaran yang sudah dipasang dapat dilaksanakan dan dilakukan penyerapan, sehingga bisa memperkecil jumlah Silpa.

“Ya saat ini tentu nilainya merah, wong di akhir bulan November saja tingkat serapan belanjanya masih di angka 53 persen,” ucapnya memberikan penilaian terhadap pemkab.

Anggota Komisi A DPRD Bojonegoro, Sudiyono.
Anggota Komisi A DPRD Bojonegoro, Sudiyono.

Terpisah, anggota Komisi A dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Sudiyono juga menyoroti perihal serapan belanja dari pihak eksekutif. Ia menguraikan postur APBD dari beberapa item belanja terlebih dahulu. Yakni item kesehatan 10 persen, pendidikan 20 persen, belanja pegawai maksimal 30 persen, dan belanja pembangunan sebesar 40 persen.

“Dari situ tinggal kita evaluasi OPD mana yang belum bisa menyelesaikan target karena APBD adalah perda, jadi supaya penegak perda harus mengingatkan dan menilai kinerja dari OPD, ojo (jangan) diam-diam ae (saja),” tuturnya.

Silpa tinggi juga disebutnya sebagai bukti adanya perencanaan yang tidak matang terutama dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Harapannya kelak setelah Bappeda digabung menjadi Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah atau Bapperinda, dalam perencanaannya nanti bisa lebih terukur dan tepat.

“Masih harus banyak berbenah, (bila perlu) syarat kepada dinas harus hafal pembukaan UUD 1945,” tegasnya.

Sorotan berikutnya datang dari Ketua Komisi C DPRD Bojonegoro, Ahmad Supriyanto. Ia bahkan menuding akibat serapan belanja rendah berakibat Silpa tinggi terjadi setiap tahun, hal itu menunjukkan Pemkab Bojonegoro tidak serius dalam mengelola uang rakyat.

“Dan ini akan menjadi rapor merah buat Pemkab Bojonegoro,” tandas Politikus Partai Golkar ini.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Bupati Bojonegoro, Adriyanto, belum memberikan tanggapan kepada Suarabanyuurip.com atas konfirmasi yang diajukan hingga berita ini ditayangkan.(fin)

 

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait