SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mendapat Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi (Migas) dalam jumlah besar. Untuk tahun 2025 ini saja, pagu anggaran DBH Migas bagi Bojonegoro sebesar Rp2,9 triliun.
Beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Kegiatan Usaha Hulu Migas di Kabupaten Bojonegoro. Diantaranya ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PEP) Cepu Field, dan PEP Sukowati Field.
Perolehan hak yang disebut Dana Bagi Hasil (DBH) Migas ini memiliki dasar hukum. Antara lain Undang – Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lalu UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan.
Akademikus dari Universitas Pertamina, Dr. Alfonsus Rinto Pudyantoro mengatakan, DBH adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran itu dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antar pusat dan daerah.
“Pada prinsipnya, DBH ada dua. Yakni ke satu ialah by origin, maksudnya DBH diperoleh berdasarkan daerah penghasil. Daerah penghasil mendapat bagian yang lebih besar. Sebaliknya, untuk daerah non penghasil dapat bagian lebih sedikit,” katanya kepada Suarabanyuurip.com saat di Jakarta belum lama ini, dikutip Sabtu (14/6/2025).
Prinsip perolehan DBH Migas yang ke dua adalah berdasarkan pada realisasi revenue ke pemerintah. Ini artinya betul betul terjadi fee masuk ke pemerintah. Sebaliknya jika tidak ada, maka tidak ada yang dibagi hasilkan.

Untuk dapat ditetapkan sebagai daerah penghasil migas, ada persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya yakni harus ada sumur migas di daerah tersebut. Ini ditunjukkan dengan adanya batang sumur, bukan hanya bibir sumurnya saja.
“Selain itu, sumur migas itu syaratnya harus aktif berproduksi, dan menghasilkan. Hasil ini juga berarti harus ada profit, misalnya kalau produksi tapi cuma 5 barel kemudian terkena biaya produksi malah minus ya berarti daerah itu bukan penghasil,” tegasnya.
“Tiga syarat di atas berlaku kumulatif, semuanya harus terpenuhi, baru bisa dikatakan sebagai daerah penghasil migas,” lanjutnya.
Terpisah, Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Bojonegoro, Teguh Ratno Sukarno menyatakan, bahwa target DBH Migas tahun 2025 untuk Bojonegoro sekira Rp1,9 triliun.
“DBH Migas di Bojonegoro telah salur sekira Rp773 miliar. Sehingga, kini masih sisa Rp1,1 triliun untuk DBH Migas yang belum disalurkan,” terangnya.

Sementara, Kepala Bidang (Kabid) Perimbangan dan PAD lainnya Bapenda Bojonegoro, Achmad Suryadi mengatakan, Bojonegoro telah menerima transfer DBH Migas sebanyak tiga kali. Anggaran transfer dari pemerintah pusat itu telah masuk di rekening kas umum daerah (RKUD) Kabupaten Bojonegoro.
“Sejak Januari hingga April 2025 kemarin total DBH Migas yang telah diterima Bojonegoro sekira Rp613 miliar. Kemudian, pada akhir Mei kemarin transfer DBH Migas kembali cair Rp292 miliar,” katanya kepada Suarabanyuurip.com, Senin (2/6/2025) kemarin.
Dijelaskan, sesuai regulasi yang berlaku, DBH Migas disalurkan berdasar persentase. Yakni untuk periode Mei Kabupaten Bojonegoro menerima transfer sebesar 15 persen. Berikutnya pada periode Juli dan September menerima besaran transfer 20 persen dari pagu alokasi.
“Untuk Januari kemarin transfer DBH migas mencapai 10 persen,” jelasnya.(fin)