SuaraBanyuurip.com – d suko nugroho
Bojonegoro- Pemerintah pusat menilai membangun kilang minyak lebih efisien ketimbang impor bahan bakar minyak (BBM).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar menilai membangun kilang minyak di dalam negeri lebih murah dan efisien daripada impor. Untuk itu, pemerintah berkomitmen menyelesaikan proyek modifikasi kilang (refinery development master plan/RDMP) dan pembangunan kilang baru.
Menurut Arcandra saat ini, ada kekurangan pasokan produk olahan minyak sebesar 900 ribu barel per hari/bph. Ini karena kebutuhan masyarakat bisa mencapai 1,6 juta hingga 1,7 juta bph.
Kekurangan itu bisa diatasi dengan cara mengimpor atau membangun dan memodifikasi kilang yang ada. Namun, saat ini ada perbedaan atau selisih sekitar 5% antara mengimpor produk olahan dan memproduksi di dalam negeri.
Jadi, kalau dihitung dari harga produk Bahan Bakar Minyak beroktan (RON) 92 di kisaran USD 72-74 per barel, maka selisihnya sekitar US$ 3,5 per barel. Itu jika dihitung sehari bisa mencapai US$ 3 juta, atau sekitar US$1 miliar setahun.
“Jadi, kalau mau bikin kilang atau impor, ya pilih kilang,” ujar Arcandra dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Senin (26/3/2018).
Namun kondisi sebaliknya terjadi di kilang minyak mini (mini refenery) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Kilang milik PT Tri Wahan Universal (TWU), itu justru berhenti produksi karena tidak mendapat pasokan minyak mentah dari Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, sejak 31Â Januari 2018 lalu.
Penghentian produksi ini disebabkan karena adanya kenaikan bahan baku minyak mentah dari Banyuurip sebesar US $ 6 per barel berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 4028 K/12/MEM/2017 tanggal 21 November 2017, tentang Formula Harga Minyak Mentah Indonesia untuk Jenis Minyak Mentah Banyuurip.
Sebelumnya, kilang minyak milik Saratoga group di Dusun Celangap, Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, itu mendapatkan harga sesuai ICP Arjuna minus US$ 0,5 per barel. Setelah terbitnya Kepmen ESDM itu hargnya menjadi ICP Arjuna plus US$ 5,5 per barel pada titik serah di Floating Storage and Offloading ( FSO) Gagak Rimang di lepas Pantai Palang Tuban, Jawa Timur.
“Harga itu mengakibatkan bisnis TWU tidak ekonomis. Karena itu manajemen terpaksa harus menghentikan kegiatan produksi,” tegas kata Eksternal Relation PT. TWU, Imam Hambali kepada suarabanyuurip.com pasca penghentian produksi.
Sebelum menghentikan produksinya, TWU mendapat pasokan mentah dari Banyuurip sebanyak 6000 barel per hari (BPH). Minyak tersebut diolah menjadi empat jenis yakni High Speed Diesel (HSD), Straight Run Gasoline (SRG), VTB/LSWR oil, dan Heavy Vacuum Gas Oil (HVGO).
“Penghentian ini berdampak pada ekonomi di daerah, penambahan pengangguran dan berkurangnya pendapatan yang diterima daerah,” ungkap pria asli Gayam, Kecamatan Gayam, ring satu Lapangan Banyuurip.
Penghentian produksi kilang mini ini merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya pada 18 Januari 2016 silam, TWU juga menghentikan kegiatannya karena persoalan yang sama.(suko)