Pemkab Bojonegoro Dinilai Tidak Serius Tanggulangi Bencana

IDFoS bersama sejumlah media di Bojonegoro berdiskusi tentang masalah lingkungan dan sosial, salah satunya tentang pentingnya penanggulangan bencana.

Suarabanyuurip.com – Arifin Jauhari

Bojonegoro – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Jawa Timur dianggap tidak serius dalam menanggulangi bencana. Hal ini mengemuka dalam diskusi yang dihelat antara Lembaga Non Pemerintah IDFoS Indonesia dengan sejumlah masyarakat sipil yang membahas isu tentang lingkungan dan sosial.

Diskusi yang dilangsungkan di salah satu resto di Desa Ngampel, Jumat (18/11/2022), ini dipantik oleh Divisi Ekonomi Kerakyatan IDFoS Indonesia, Rizal Zubad. Dilanjutkan oleh Divisi Advokasi Ahmad Muhajir. Kegiatan dibuka oleh Ketua IDFoS Joko Hadi Purnomo.

“Bojonegoro ini salah satu daerah yang sudah merasakan dampak kerusakan lingkungan. Bencana banjir bandang dan tanah longsor misalnya. Sekarang beralih pada kawasan yang seharusnya menjadi pelindung dan pencegah bencana,” kata Joko Hadi Purnomo.

Menyambung hal itu, salah satu peserta diskusi, Imam Nurcahyo menilai Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tidak serius dalam penanggulangan bencana. Terbukti, belum ada Peraturan Bupati (Perbup) yang dibuat tentang itu. Padahal menurut amanat Perda No. 7 tahun 2012, tentang Penanggulangan Bencana, pada Pasal 88, Perbup selambat-lambatnya diterbitkan 6 bulan sejak Perda ditetapkan.

“Bupati Bojonegoro terkesan abai dalam hal penanggulangan bencana dari sisi mitigasi. Dan hanya mengedepankan konsep tanggap darurat ketimbang mitigasi,” ujar pimpinan media siber BeritaBojonegoro.com ini.

Imam menandaskan, bahwa dari 17 Program Prioritas Bupati Anna Mu’awanah, tidak ada satupun program yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. Kalaupun ada, hanya berupa santunan bagi warga yang menjadi korban bencana sebagai sifat tanggap darurat.

Menurut Imam, tanggap darurat bukannya tidak penting, namun harus diimbangi dengan mitigai bencana. Baginya, tanpa mitigasi yang cukup, ibaratnya sama saja dengan : Terjadi bencana tidak apa-apa, nanti banyak yang nolong. Atau : Meninggal tidak apa-apa, Pemkab sudah siapkan santunan untuk korban bencana.

“Mitigasi tidak sulit untuk dilakukan, hanya diperlukan niatan baik (political will) dari pemangku kebijakan. Saya ambil contoh, ketika PT KAI membangun rel ganda, mereka telah siapkan mitigasi dengan membangun tembok pembatas di titik yang berdekatan dengan jalan raya,” tandasnya.

Pembelian mobil pemadam kebakaran (Damkar), lanjut Imam, yang punya belalai 60 meter seharga Rp29 miliar tapi belum pernah digunakan untuk memadamkan kebakaran-pernah dipakai menolong takmir masjid yang pingsan di menara. Selain itu hanya untuk pajangan saat apel gelar pasukan-adalah contoh kebijakan mengedepankan tanggap darurat.

“Pemerintah harus mengubah konsep penanggulangan bencana dari mengedepankan tanggap darurat menjadi mengedepankan mitigasi, yang terstruktur dan berkesinambungan,” lanjutnya.

Sementara itu, Tulusno Budi Santoso, jurnalis BeritaJatim.com, menyampaikan hipotesa, perihal korelasi antara peristiwa bencana sebagai sebab kemiskinan. Oleh karena itu dia sepakat dengan pentingnya mitigasi yang selama ini tampak kurang diminati oleh pemangku kebijakan.

“Karena dari sisi eksistensi, mitigasi ini pekerjaan yang tidak terlihat. Berbeda dengan saat bencana terjadi. Padahal pola bencana saat ini bergeser. Kita lihat saja banjir yang makin luas terjadi di kota. Apakah gorong-gorong ini berfungsi dapat mencegah banjir atau hanya percantik kota,” ucap pria yang juga aktif jadi pemain kesenian sandur ini.

Bhagas Dani Purwoko, jurnalis koran harian RadarBojonegoro menambahkan, bahwa isu lingkungan dan bencana sebetulnya adalah isu yang sangat penting untuk diangkat. Sementara pemerintah hanya menangani bencana secara kurratif. Bukan dari sisi pencegahannya. Sehingga perlu ada yang bisa merubah mindset tersebut.

“Begitu pula Pemkab perlu didorong agar pemikiran mitigasi bencana dapat menjadi program pemerintah. Dan perlu disadari, bahwa persoalan penanggulangan bencana itu juga tanggung jawab kita semua,” tambahnya.

Joko Hadi Purnomo, kemudian menyampaikan konklusi dalam diskusi. Dimana tren bencana dapat sangat terlihat karena telah terjadi berulang kali. Misalnya pada bencana non alam (penyakit), penderita gagal ginjal trennya menujukkan semakin muda.

“Kurratif itu mahal. Maka kebijakan itu seharusnya tidak hanya melihat yang sudah terjadi tetapi juga melihat kedepan apa yang belum terjadi. Siapa yang paling bertanggung jawab, ya tentunya Pemkab,” tegasnya.(fin)

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *