Suarabanyuurip.com – d suko nugroho
Jakarta – Gas suar bakar atau flare gas dari lapangan migas dapat dimanfaatkan dan memberikan nilai ekonomis. Antara lain sebagai pembangkit listrik, pemanfaatan gas melalui pipa, compressed natural gas (CNG), Liquified Petroleum Gas (LPG), mikro Liquified Natural Gas (LNG), gas to liquid (GTL) dan methanol, dan Dimetyl Eter (DME).
Kepala LEMIGAS Ariana Soemanto mengatakan, volume gas suar bakar di Idonesia sekarang ini mencapai 115 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). Sehingga perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk mengurangi emisi karbon.
“Ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emission atau NZE tahun 2060 atau lebih cepat. Salah satu upaya mengurangi emisi yaitu pemanfaatan gas suar bakar,” kata Ariana dalam pernyataannya di Jakarta, Sabtu (19/11/2022).
Ariana menegaskan, pengelolaan flare gas telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 tahun 2021. Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas dan pemegang izin usaha pengolahan migas wajib melakukan pengelolaan flare gas, dengan mengutamakan pemanfaatan flare gas.
“Kementerian ESDM melalui “LEMIGAS” Direktorat Jenderal Migas menyediakan layanan kajian kelayakan dan penerapan teknologi flare gas secara tepat untuk lapangan migas,” tegasnya.
Menurut dia, ada beberapa opsi pemanfaatan flare gas. Antara lain untuk pembangkit listrik, pemanfaatan gas melalui pipa, compressed natural gas (CNG), Liquified Petroleum Gas (LPG), mikro Liquified Natural Gas (LNG), gas to liquid (GTL) dan methanol, dan Dimetyl Eter (DME).
“Sebelum pemanfaatan flare gas, studi kelayakan dan pemilihan teknologi yang tepat tentunya diperlukan agar pemanfaatan flare gas tidak saja feasible secara teknis, tapi juga secara ekonomis,” pungkas Ariana.
Kepala Teknologi Gas LEMIGAS Lisna Rosmayati menambahkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan teknologi dalam pemanfaatan flare gas di suatu lokasi. Diantaranya adalah volume dan komposisi gas suar bakar pada lokasi tersebut, serta jarak antara lokasi gas suar bakar dengan lokasi pemanfaatannya.
Lisna kemudian menjelaskan secara teknis berdasarkan faktor komposisi gas. Untuk gas suar dengan komposisi gas berat yang cukup besar (jumlah C3 dan C4+ lebih dari 10%) dapat diproses menjadi LPG. Kemudian dari parameter jarak, untuk gas suar yang terletak cukup jauh dari infrastruktur pipa, atau terletak di offshore dapat menggunakan teknologi DME dan GTL.
“Kedua teknologi tersebut memiliki produk berbentuk liquid sehingga lebih mudah dalam pendistribusian,” jelas Lisna.
Ia menguraikan, apabila gas suar pada lapangan onshore memiliki flowrate sekitar 2 mmscfd, maka pemrosesan gas suar dapat menggunakan teknologi CNG atau LPG.
Ditinjau dari aspek teknologi, Lisna menambahkan bahwa gas suar bakar dapat dimanfaatkan melalui jalur pipa, maupun menjadi CNG, LPG, DME, GTL dan mikro LNG. Dengan mengumpulkan volume gas suar dari beberapa lapangan, kilang LNG mini (mikro LNG) merupakan salah satu pilihan yang menarik untuk dikaji. Sedangkan dari aspek pemanfaatannya, gas suar bakar dapat dimanfaatkan untuk PLTG, untuk keperluan sendiri (own used) atau komersialisasi. Pemanfaatan Gas Suar untuk PLTG merupakan momentum yang tepat dalam upaya mengurangi konsumsi BBM.
“LEMIGAS akan terus berupaya untuk memberikan solusi terbaik bagi permasalahan migas di Indonesia dan mendukung penurunan Flare Gas sebagai bagian dari komitmen terhadap lingkungan,” tegas Lisna dikutip dari laman Ditjen Migas.
Sebagai informasi, flare gas atau gas suar bakar merupakan gas yang dihasilkan dari kegiatan eksplorasi dan produksi atau pengolahan minyak dan gas bumi, dimana Flare Gas berdampak pada perubahan iklim dan lingkungan melalui emisi CO2, Black Carbon, dan Polutan lainnya.(suko)