Deretan Bisnis Sektor Migas PT BBS BUMD Bojonegoro yang Kandas

Kantor BBS.
Kantor PT BBS, BUMD Bojonegoro di Jalan Diponegoro. Perusahaan tersebut hingga saat ini belum memiliki Direktur Utama (Dirut).

SuaraBanyuurip.com – Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Bojonegoro, Jawa Timur, PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS), telah 19 tahun berdiri. Perusahaan pelat merah ini dibentuk melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2006, tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah PT BBS.

Sebelum berubah nama menjadi PT Bojonegoro Bangun Sarana, namanya adalah PT Bangkit Bangun Sarana.

PT BBS bergerak di sektor migas. Perusahaan ini didirikan untuk menangkap peluang usaha dari kegiatan industri migas di Kabupaten Bojonegoro.

Lazimnya sebuah perusahaan daerah, PT BBS diharapkan dapat menopang pendapatan asli daerah (PAD) dari bisnis yang dijalankan.

Namun, sejak berdiri pada 2006 silam, PT BBS belum mampu mengembangkan bisnisnya, dan memberikan pendapatan signifikan bagi daerah. Meskipun perusahaan tersebut telah mendapat suntikan modal yang cukup besar dari APBD Bojonegoro.

Hanya satu usaha di sektor migas yang bertahan dijalan PT BBS. Yakni mengelola sumur minyak tua peninggalan Belanda bersama paguyupan penambang.

Sementara sejumlah bisnis sektor migas lainnya yang pernah digagas PT BBS, kandas. Bahkan hingga enpat kali direktur utama (Dirut) berganti hingga mengalami kekosongan sampai sekarang ini, bisnis tersebut belum juga terealisasi.(red)

Berikut deretan bisnis PT BBS yang gagal terealisasai :

1. Gagal bangun pabrik pengolahan gas flare

PT BBS pernah berencana membangun pabrik pengolahan gas flare atau gas suar bakar pada 2011. Bisnis ini pertama kali digagas oleh Dirut PT BBS, Deddy Affidick.

Deddy Affidick sebelum menjabat Dirut PT BBS adalah External Relation Mobil Cepu Limited (EMCL).

Saat itu PT BBS telah membaskan lahan seluas 3 hektar (Ha) untuk pembangunan pabrik pengolahan gas berkapasitas 20 MMSCFD. PT BBS juga telah menggandeng dua investor yakni PT Inter Media Energy dan PT Niaga Gema Teknologi dari Jakarta. Investasi yang disiapkan berkisar antara USD 35 juta – USD 40 juta.

PT BBS kala itu juga telah mendapat alokasi gas suar Lapangan Sukowati, Blok Tuban, dari pemerintah pusat. Jumlahnya sebanyak 10 MMSCFD berdasarkan perjanjian jual beli gas (PJBG) yang ditandatangani beberapa pihak. Yakni Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) meliputi Pertamina Hulu Energi (PHE), Petrochina Internasional, Pertamina EP Tuban dan Pertamina EP Tuban East Java.

Pabrik pengolahan gas suar yang akan dibangun BBS ditargetkan bisa menghasilkan condensate sebesar 300 barel, 15 ton LPG ((Liquefied Petroleum Gas) dari jatah 4 juta kaki kubik (MMSCF) BBG.

Namun hingga masa jabatan Deddy Affidick sebagai Dirut PT BBS berakhir pada April 2015, fasilitas pengolahan gas suar belum juga terealisasi. Justru perusahaan yang digandeng BBS meninggalkan persoalan dengan kontraktor lokal hingga berujung pada penyitaan lahan yang akan digunakan lokasi pabrik pengolahan gas.

2. Gagal bangun kilang minyak mini

Pasca berakhirnya masa jabatan Deddy Affidick sebagai dirut, PT BBS dinahkodai oleh Edi Fritz, Mantan General Manager operator Lapangan Sukowati, Joint Operating Body East Java (JOB P-PEJ).

Di bawah kendali Edi Fritz, PT BBS juga tidak menunjukkan kinerja optimal. Edi Fritz hanya menjabat setahun, yakni sampai 2016. Dia mengundurkan diri. Jabatannya kemudian digantikan oleh Tony Ade Irawan pada 2017. Tony adalah mantan wartawan media harian lokal Bojonegoro.

Berbeda dengan Deddy Affidick, Tony Ade Irawan menggagas pendirian kilang minyak mini. PT BBS saat itu juga telah menggandeng perusahaan sebagai pemodal, yakni PT Tierra Energi dan PT Inter Media Energi Perkasa untuk membangun fasilitas pengolahan minyak.

Bahkan, PT BBS ketika itu juga telah mendapat alokasi minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu dari pemerintah pusat. Jumlahnya sebanyak 30.000 barel per hari dibagi untuk tiga perusahaan yakni PT BBS, PT Humpuss, dan PT Tri Wahana Universal (TWU) masing-masing 10.000 bph.

PT BBS kala itu juga telah memasang target ground breaking pembangunan kilang mini dilaksanakan 2017, dan konstruksi dimulai 2018, dan tahun berikutnya beroperasi.

Namun lagi-lagi rencana bisnis itu kandas. Pembangunan kilang minyak tidak terwujud. Alasannya, harga minyak yang ditetapkan pemerintah tidak ekonomis yakni, ICP Arjuna plus US$5,50 per bareI pada titik serah fasilitas di penampungan terapung (Floating Storage and Offloading/FSO) Gagak Rimang. Sedang BBS meminta harga ICP Arjuna dikurangi US$ 0,50 per barel.

Dirut PT BBS Tony Ade Irawan akhirnya mengundurkan diri pada 2019.

3. Gagal Bangun Pabrik Pengolahan Gas

Mundurnya Tony Ade Irawan, Dirut PT BBS digantikan oleh Thomas Gunawan pada 2020. Thomas sebelumnya adalah salah satu direktur di PT Rekayasa Industri (Rekind).

Di bawah kepemimpinan Thomas, PT BBS kembali membidik bisnis pengolahan gas. Namun gas yang akan diolah bukan dari gas suar Lapangan Sukowati. Melainkan dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. Rencana bisnis itu juga telah disampaikan kepada pimpinan DPRD Bojonegoro pada 9 September 2020.

Bahkan saat itu PT BBS telah menandatangani kerja sama pengelolaan gas ikutan dari Lapangan Banyu Urip dengan Pertamina Gas (Pertagas). Kerja samanya adalah membangun fasilitas pengolahan gas bersama dan pemasaran.

PT BBS juga sudah mengajukan penawaran pembelian kepada ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), operator Blok Cepu. Juga mengajukan alokasi dan harga gas ke Kementerian ESDM.

Jumlah pembelian gas yang diajukan PT BBS sebanyak 5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) kepada ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). Jumlah tersebut di luar pembelian yang diajukan Pertagas.

PT BBS dan Pertagas kala itu juga sudah menggelar beauty contest untuk mendapatkan calon kontraktor yang membangun fasilitas pemrosesan gas bersama. Ada tiga calon kontraktor yang lolos sesuai persyaratan yang ditentukan yakni PT Santi, PT TIP, dan PT ETI.

Namun lagi-lagi rencana bisnis tersebut juga tidak terealisasi hingga Thomas Gunawan mengundurkan diri dari Dirut PT BBS pada 8 Juli 2022.

Sudah dua tahun lebih Dirut PT BBS belum terisi pasca mundurnya Thomas Gunawan.

4. Gagal Kelola Pabrik Pengolahan Singkong

Selain gagal merealisasikan bisnis di sektor migas, PT BBS sebelumya juga gagal mengelola pabrik pengolahan singkong menjadi tepung Kasava.

Pabrik pengolahan singkong tersebut dikelola PT BBS pada 2013. Lokasinya berada di Desa/Kecamatan Dander.

Saat itu, pabrik tersebut setiap harinya mampu memproduksi 1 ton tepung kasava. Dengan pemasaran ke Sidoarjo dan Mojokerto. Hasil produksi tepung Bojonegoro itu dijual dengan harga Rp3000 per kilo gramnya (Kg).

Untuk bahan bakunya, PT BBS kala itu membeli singkong hasil petani Bojonegoro. Dengan harga Rp1600- Rp2100 per kilo gram (Kg). Singkong tersebut sudah dalam bentuk gaplek dengan kadar air di bawah 15 persen.

Namun tidak bertahan lama bisnis pengolahan singkong menjadi tepung yang dikelola PT BBS macet, dan berhenti produksi.

5. Kelola Talok Resident Tak Menguntungkan

PT BBS juga pernah menjalankan bisnis persewaan properti, The Resident di Desa Talok, Kecamatan Kalitidu. Dalam bisnis ini PT BBS berpartner dengan PT Etika Dharma Bangun Sarana (EDBS).

The Resident pernah disewakan PT BBS kepada EMCL dan Pertamina EP Cepu (PEPC) sebagai perkantoran. Sewanya setiap tahun mencapai Rp 40 miliar.

Namun dari hasil sewa itu, PT BBS hanya memperoleh 5 persen atau sekitar Rp 2,6 miliar per tahun. Sementara 95 persen hasil sewa The Resident masuk ke PT EDBS.

Bagi hasil antara PT BBS dan PT EDBS tersebut sempat menjadi sorotan karena dinilai merugikan Bojonegoro. Sebab tanah yang digunakan The Resident milik Pemkab Bojonegoro.

Setelah perjanjian dengan PT EDBS selesai, tanah dan bangun The Resident diserahkan PT BBS kepada Pemkab Bojonegoro. Aset tersebut sekarang ini sedang dibangun menjadi rumah sakit khusus kanker (onkologi).

»Follow Suarabanyuurip.com di
» Google News SUARA BANYUURIP
» dan Saluran WhatsApp Channel SuaraBanyuurip.com


Pos terkait