Problema yang terjadi di pasar kota Bojonegoro hingga kini masih terus bergulir. Mereka yang terlibat dalam kisah segitiga pembangunan pasar kota di bumi Angling Dharma (sebutan lain Bojonegoro) ini tetap bersikukuh dengan pendirian masing-masing.
KEGADUHAN situasi dan kondisi Pasar Kota Bojonegoro hingga kini belum menampakkan tanda berakhir dengan munculnya satu jalan keluar. Pihak pedagang pasar bersikukuh memiliki hak menempati pasar yang telah dibeli melalui perjanjian sewa beli yang telah ada akta notarisnya sehingga menolak dipindah.
Begitupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro. Daerah penghasil minyak dan gas bumi (Migas) ini mengklaim, tanah dimana pasar kota berdiri adalah tanah milik Pemkab. Ditandai dengan pemasangan papan pemberitahuan yang didirikan di tiga titik seputar Pasar Kota Bojonegoro.
Dalam papan pemberitahuan itu tertulis bahwa tanah itu milik Pemkab Bojonegoro sesuai Sertifikat Hak Pakai No. 16 tanggal 16 November 1992 seluas 17.205 meter persegi.
Berdasar wawancara SuaraBanyuurip.com dengan berbagai narasumber, diketahui ada kisah segitiga dalam pembangunan pasar yang terletak di Jalan Pasar, turut Kelurahan Ledok Wetan, Kecamatan Kota, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Tim Advokat Pedagang Pasar Kota Bojonegoro, Agus Mujiyanto menuturkan, jika menunjuk Sertipikat Hak Pakai (SHP) sebagai bukti kepemilikan tanah Pemkab yang terbit pada tahun 1992. Pria santun ini justru memiliki pandangan berbeda.
Pemerintah Daerah (Pemda) Bojonegoro pada 1992, dia sebut saat itu membuat perjanjian kerja sama dengan PT Alimdo Ampuh Abadi untuk pembangunan Pasar Kota Bojonegoro.
Kemudian, pada tahun 1993 pembangunan Pasar Kota Bojonegoro mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pria asli Ledok Kulon ini lantas berargumen, kalau misalnya Pemkab Bojonegoro memiliki SHP pada 1992. Maka SHP itu sebetulnya sudah diikatkan perjanjiannya dengan PT Alimdo Ampuh Abadi.
Dalam perjanjian itu, PT Alimdo Ampuh Abadi diberikan kewenangan oleh Pemkab Bojonegoro untuk menjual, mengalihkan bedak, toko, dan los. Artinya, Pemkab Bojonegoro (saat itu Pemda) terikat dengan PT Alimdo, di lain sisi PT Alimdo Ampuh Abadi terikat dengan para pedagang pasar. Bentuknya berupa sewa beli.
“Kalau konsep saya, sewa beli itu ya pembelian. Baik itu melalui cash atau angsuran. Pembelian itu ya melekat dengan tanahnya. Tidak mungkin kita beli bangunannya tanpa ada tanahnya. Tidak hanya berdasarkan bangunan saja. Dan ini juga berdasar edaran Menteri Perdagangan tahun 1985, ketika itu,” tuturnya, Selasa (31/01/2023).
“Seharusnya, setelah terjadi pembelian, Pemkab ada kewajiban untuk mengeluarkan bukti hak. Pemkab sendiri hingga hari ini kan mengingkari. Karena tidak mengeluarkan hak sesuai yang tercantum dalam akta yang dinotariskan itu,” imbuhnya.
Selain itu, nilai pembelian bedak, los, dan toko, pada saat itu lebih mahal dari harga umumnya. Dicontohkan saat ibunya sendiri, membeli toko di pasar tahun 1994 secara tunai seharga Rp13,5 juta. Selisih dua tahun pada 1996 ketika Agus membeli rumah tanah ukuran 400 meter persegi luas bangunan 6×12 meter seharga Rp18,5 juta.
“Artinya bedak, los, dan toko, nilainya saat itu lebih tinggi dari harga umumnya. Karena dengan harga Rp13,5 juta hanya mendapat toko seluas 20 meter persegi,” terangnya.
Terkait klaim tanah milik Pemkab Bojonegoro, Agus mempersilakan pihak Pemkab menggugat para pedagang jika memang memiliki bukti kepemilikan. Klaim memiliki tanah, itu tidak bisa dipakai dasar memindah pedagang dengan main hakim sendiri. Karena para pedagang dinyatakan memiliki hak-hak keperdataan.
“Jadi sesuai asas, dalam literatur ilmu hukum terdapat sebuah asas “actori incumbit probatio, actori onus probandi”. Yang artinya, siapa yang mendalilkan, maka dia yang harus membuktikan. Kalau Pemkab Bojonegoro bisa buktikan itu di pengadilan ya monggo (silahkan),” tandasnya.
Kalau ada main hakim sendiri, Advokat asli Bojonegoro ini mempertanyakan, apakah Pemkab Bojonegoro sebagai lembaga eksekutif ataukah yudikatif. Kalau wewenang menggusur ada di pengadilan, pihaknya justru senang kalau Pemkab menempuh jalur hukum.
“Ada banyak yang dilanggar dalam persoalan pasar ini. Mulai Hak Asasi Manusia (HAM), ada unsur pidana, dan juga hak perdata. Saya sudah siapkan semua materi gugatan. Tapi, saya masih tunggu itikad baik Pemkab Bojonegoro untuk komunikasi mencari solusi terbaik. Karena ada upaya sosial, politik, dan hukum yang kami tempuh,” tegasnya.
Terpisah, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bojonegoro melalui Kepala Bidang Aset Daerah, Andi Panca menyatakan, bahwa tanah Pasar Kota itu memang tercatat sebagai tanah milik Pemkab sebagaimana tertera di papan pemberitahuan.
Data yang dimiliki Bidang Aset berdasarkan likuidasi PD Pasar tahun 2018. Di dalamnya ada tim likuidator yang bertugas untuk menyerahkan aset-aset Pemkab setelah diaudit oleh KAP (Kantor Akuntan Publik).
“Sesudah dilaksanakan audit pada 2019 dicatat sebagai aset Pemkab di Dinas Perdagangan. Sedangkan perihal data yang dimaksud oleh pedagang kami tidak memegang itu. Kalau para pedagang punya data itu ya silahkan ditunjukkan,” ucapnya.(Arifin Jauhari)